Tanda orang yang disukai dan dimurkai oleh Allah
ZAID al Khoil adalah seorang badui (dari desa atau pedalaman padang
pasir Arabia) yang telah memeluk Islam datang ke Madinah untuk menemui
Nabi SAW. Setelah menambatkan untanya di depan masjid dan menyampaikan
salam kepada Nabi SAW, ia berkata, “Ya Rasulullah, saya telah melelahkan
kendaraanku selama sembilan hari. Setelah itu saya menuntunnya lagi
selama enam hari secara terus menerus. Berpuasa di siang hari dan jarang
tidur di malam harinya, sehingga tungganganku sangat lelah. Semua itu
saya lakukan hanya untuk menanyakan dua masalah yang merisaukan saya
sehingga saya susah tidur.”
Nabi SAW memandang lelaki badui itu dengan kagum, seorang muslim
sederhana yang telah berjuang begitu beratnya menempuh perjalanan jauh
untuk memperoleh penjelasan langsung dari Nabi SAW tentang dua masalah.
Beliau bersabda, “Siapakah engkau?”
“Zaid al Khoil (Zaid, sang unta),” kata Zaid.
Tampaknya Nabi SAW kurang berkenan dengan namanya tersebut, seolah-olah
kurang jelas mendengar jawabannya, beliau bersabda, “Oh, jadi namamu
Zaid al Khoir (Zaid, yang penuh kebaikan).”
Jelas sekali kalau Nabi SAW ingin mengganti namanya, dan Zaid sangat senang dengan penamaan Nabi SAW tersebut. Ia berkata,
“Benar, ya Rasulullah, saya Zaid al Khoir.”
Setelah itu beliau berkata lagi, “Tanyakanlah. Kemungkinan sesuatu yang sukar itu sudah pernah ditanyakan kepadaku sebelumnya.”
“Untung…Untung…” Kata Nabi SAW, tampak sekali kegembiraan beliau atas
pertanyaan tersebut, tidak salah kalau namanya memang ‘Al Khoir’.
Kemudian beliau bertanya lagi, “Bagaimana keadaanmu kini, hai Zaid?”
Zaid menjawab, “Saya sekarang ini senang dengan amal kebaikan, senang
dengan orang-orang yang mengamalkan kebaikan, dan senang dengan
tersebarnya amal kebaikan. Saya menyesal jika tertinggal akan amal
kebaikan dan rindu untuk melakukan kebaikan. Jika saya melakukan
kebaikan, sedikit atau banyak, saya yakin akan pahalanya.”
Nabi SAW bersabda, “Ya itu, itulah dia tandanya. Andaikata Allah tidak
suka kepadamu, tentu engkau disiapkan untuk melakukan hal yang lain dari
yang kaukatakan itu, dan Dia tidak akan perduli di jurang mana engkau
akan binasa.”
“Cukup, cukup, ya Rasulullah,” kata Zaid, seolah ia tidak ingin beliau menjelaskan lebih lanjut.
Setelah mengucap terima kasih dan mengucapkan salam perpisahan, Zaid
keluar dari masjid dan menaiki kendaraannya, dan memacunya pulang.
Wajah Nabi SAW makin bersinar saja tanda beliau sangat gembira.
Bagaimana tidak gembira? Musafir dari jauh ini tidak setiap saat bertemu
dan bergaul dengan Nabi SAW, tetapi dia bisa merasakan nuansa kasih
sayang Allah begitu mendalam, sebagaimana yang dirasakan sahabat-sahabat
yang selalu hadir di sekitar sosok “Rahmatan lil ‘alamin” ini, Nabi
Muhammad SAW.
sumber: islampos
Tidak ada komentar:
Posting Komentar