BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya
berpusat pada manusia
individu yang
bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam
mana yang benar dan mana yang tidak benar. Dalam eksistensialis kebenaran bersifat
relatif, sehingga
masing-masing
individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
Eksistensialisme adalah salah satu
aliran besar dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat Barat. Eksistensialisme
mempersoalkan keberadaan manusia, dan
keberadaan itu
dihadirkan lewat kebebasan. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan
eksistensialisme adalah melulu soal kebebasan. Apakah kebebasan itu? bagaimanakah
manusia yang bebas itu?
Menjadi eksistensialis, dapat dilihat melalui tindakatan
atau keputusan untuk membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan
sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan. Kaum eksistensialis menyarankan kita
untuk membiarkan apa pun yang akan kita kaji. Baik itu benda, perasaaan,
pikiran, atau bahkan eksistensi manusia itu sendiri untuk menampakkan dirinya
pada kita. Hal ini dapat dilakukan dengan membuka diri terhadap pengalaman,
dengan menerimanya, walaupun tidak sesuai dengan filsafat, teori, atau
keyakinan kita.
B.
Rumusan Masalah
Berdarsarkan latar belakang di atas
dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan eksistensialisme ?
2. Bagaimana eksistensialisme dalam
pembelajaran ?
C.
Tujuan
1. Untuk mengatahui yang dimaksud
dengan eksistensialisme.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Eksistensialisme
Konsep eksistensialisme dikembangkan oleh ahli filsafat asal
Jerman, Martin Heidegger (1889-1976), merupakan bagian filsafat dan akar
metodologinya berasal dari metodologi fenomenologi yang dikembangkan oleh
hussel (1859 – 1938). Kemunculan eksistensialisme berawal dari ahli filsafat
Soren Kierkegaard dan Nietzche. Soren Kierkegaard ingin menjawab pertanyaan “bagaimanakah aku menjadi seorang diri ?”,
dasar pertanyaan tersebut mengemukakan bahwa kebenaran itu tidak berada pada
suatu sistem yang umum tetapi berada dalam eksistensi individu yang konkret.
Pandangan tersebut tentunya bukan suatu yang muncul dengan
sendirinya, melainkan sesuatu yang lahir ketika dunia mengalami krisis
eksistensial, ketika manusia melupakan sifat individualisnya. Kierkegaard
berusaha untuk menemukan jawaban untuk pertanyaan tersebut manusia (aku) bisa
menjadi individu yang autentik jika memiliki gairah, keterlibatan, dan komitmen
pribadi dalam kehidupan.
Dari kierkegaard kemudian diteruskan oleh Nitzche
(1844-1900), pemikiran filsafat Nitzche terarah pada upaya melahirkan ide yang
bisa menjadi jalan keluar untuk menjawab pertanyaan filosofisnya, yaitu
“bagaimana cara menjadi manusia unggul (ubbermench)”. Jawabannya adalah manusia
bisa menjadi unggul jika mempunyai keberanian untuk merealisasikan diri secara
jujur dan berani.
Sebagai pandangan baru, filsafat eksistensialisme merupakan
filsafat yang secara khusus mendeskripsikan eksistensial dan pengalaman manusia
dengan metodologi fenomenologi atau cara manusia berada. Eksistensialisme adalah
suatu reaksi terhadap materialism dan idealisme. Pendapat materialism terhadap
manusia adalah manusia merupakan benda dunia, manusia adalah materi, manusia
adalah sesuatu yang ada tanpa menjadi subyek. Pandangan manusia menurut
idealisme : manusia hanya sebagai subyek atau hanya sebagai suatu kesadaran.
Eksistensialisme berkeyakinan situasi manusia selalu berpangkalkan eksistensi
sehingga aliran eksistensialisme penuh dengan lukisan-lukisan yang konkret.
Disini bagi eksistensialisme, individu bertanggung jawab
atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan
mana yang tidak benar. Sebenarnya, bukannya tidak mengetahui mana yang benar
dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialisme dasar bahwa
kebenaran bersifat relative, karenanya masing-masing individu bebas menentukan
sesuatu yang menurutnya benar.
Sementara, dalam ruang ontology, eksistensialisme banyak
mempersoalkan makna keberadaan manusia yang diyakini mesti dihadirkan lewat
kebebasan. Oleh karenanya, pertanyaan utama eksistensialisme nyaris selalu
bersinggungan dengan persoalan kebebasan; mulai dari apakah kebebasan itu ?
bagaimanakah manusia yang bebas itu ? eksistensialisme menolak mentah-mentah
bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan tersebut.
Sementara, di perancis eksistensialisme dikenal lewat Jean
Paul Sartre, dengan diktumnya “human is
condemned to be free”. Manusia demikian menurut Sartre, dikutuk untuk
bebas. Dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Dalam sisi ini,
pertanyaan yang sering muncul sebagai akibat dari adanya kebebasab
eksistebsialis : sejauh mana kebebasan manusia itu? Atau, sesuatu yang dalam
istilah dikenal “orde baru”. Apakah eksistensialisme mengenal kebebasan yang
bertanggung jawab? Para penganut eksistensialisme meyakini kebebasan adalah
satu-satunya unuversalitas manusia. Maka, batasab kebebasan setiap individu
adalah kebebasan indovidu lain.
Namun, menjadi eksistensialis bukan melulu harus menjadi
seseorang yang lain daripada yang lain, sebaliknya menjadi sadar bertapa
keberadaan dunia selalu menjadi sesuatu yang berada di luar kendali manusia.
Meski hal itu bukan berarti membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang
menjadi esensi eksistensialisme.
Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri dan
sadar akan tanggung jawabnya di masa depan adalah inti eksistensialisme.
Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan terjun ke berbagai profesi seperti
dokter atau lainnya tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme apakah kita
menjadi dokter atau lainnya merupakan keinginan orang tua atau kita sendiri.
Adapun secara umum, eksistensialisme membagi problem
filsafat menjadi empat masalah filosofis : eksistensi manusia, bagaimana
bereksistensi secara aktif, eksistensi manusia adalah eksistensi yang terbuka
dan belum selesai, serta pengalaman eksistensial. Seadngkan Sartre membagi
eksistensialisme ke dalam dua cabang, yaitu eksistensialisme kreistiani dan eksistensialisme
ateis.
Filsafat eksistensialisme membahas cara pengada-pengada,
khususnya manusia. Sesuatu oleh Sartre terbagi menjadi dua, yaitu l’etre – en – soi (ada – dalam – diri)
dan l’etre – pour – soi (berada –
untuk – diri). L’etre – en –soi selalu
menjadi keberadaan yang an –sich, ada
yang bulat, padat, baku, dan tertutup. Entre
– en – soi menaati prinsip what it is.
Perubahan pada benda yang ada dalam diri itu disebabkan oleh
sebab-sebab yang telah ditentukan oleh adanya. Maka, benda entre – en – soi terdeteminasi, tidak bebas, dan perubahannya
memuakkan (nauseant). Benda yang berada-dalam-diri ada di sana tanpa alas an
apa pun, tanpa alas an yang kita berikan padanya.
Adapun, l’etre – pour – soi adalah cara ada
yang sadar. Satu-satunya makhluk yang mengada secara sadar adalah manusia. Etre – pour – soi tidak memiliki
prinsip identitas karena adanya terbuka, dinamis, dan aktif oleh karena
kesadarannya. Disini, manusia mesti bertanggung jawab atas keberadaannya; bahwa
“aku” adalah frater, bukan bruder, bahwa “aku” imam tarekat, bukan imam
diosesan; bahwa “aku” awam, bukan klerus; bahwa “aku” dosen, bukan mahasiswa;
bahwa “aku” mahasiswa, bukan pengamen. Manusia sadar bahwa dia bereksistensi.
Dalam membicarakan kesadaran, Sartre membagi menjadi dua,
yaitu kesadran prareflektif dan kesadaran reflektif. Kesadaran prafeflektif
adalah kesadaran aktivitas harian. Menurut Sartre, tidak ada “aku” dalam
kesadaran prareflektif. Sedangkan, kesadaran adalah kesadaran akan diri. Selama
seseorang berkonsentrasi, ia mengalami kesadaran reflektif.
Kesadaran ini membuat manusia mampu membayangkan apa yang
mungkin terjadi dan apa yang bisa ia lakukan. Misalnya, ketika ia sadar bahwa
akan realitas hidupnya menurut Sartre seseorang akan dibawa pada sesuatu yang
dinamainya “pusaran kemungkinan”. Di titik inilah kebebasan menurut Sartre
menjadi sesuatu hal yang terkutuk.
Pendeknya, eksistensialisme selalu menjadi pemikiran
filsafat yang berupa untuk agar manusia menjadi dirinya, mengalami
individualitasnya. Eksistensi berarti berdiri sendiri sebagai diri sendiri.
Menurut Heideggard, “Das wesen des daseins liegh in seiner Exixtenz”. Da – sein
tersusun dari dad dan sein. Da berarti di sana, sein berarti berada. Artinya,
manusia sadar dengan tempatnya. Menurut Sartre, adanya manusia itu bukanlah
etre, melainkan a etre – manusia itu tidak hanya ada, tetapi dia selamanya
harus membangun adanya, adanya harus dubentuk dengan tidak henti-hentinya.
Menurut Parkay (1998), aliran eksistensialisme terbagi dua
sifat, yaitu teistik (bertuhan) dan arteistik. Menurut eksistensialisme, ada
dua jenis filsafat tradisional, yaitu filsafat spekulatif dan filsafat skeptif.
Filsafat spekulatif menyatakan bahwa pengalaman tidak banyak berpengaruh pada
individu. Filsafat skeptif menyatakan bahwa semuanya pengalaman itu adalah
palsu, tidak ada sesuatu yang dapat kita kenal dari realita. Menurut mereka,
konsep metafisika adalah sementara.
B.
Eksistensialisme Dalam Pembelajaran
1.
Pengetahuan.
Teori pengetahuan eksistensialisme
banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi, suatu pandangan yang
menggambarkan penampakan benda-benda dan peristiwa-peristiwa sebagaimana
benda-benda tersebut menampakan dirinya terhadap kesadaran manusia. Pengetahuna
manusia tergantung kepada pemahamannya tentang realitas, tergantung pada
interpretasi manusia terhadap realitas, pengetahuan yang diberikan di sekolah
bukan sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan atau karir anak, melainkan untuk
dapat dijadikan alat perkembangan dan alat pemenuhan diri.
Pelajaran di sekolah akan dijadikan
alat untuk merealisasikan diri, bukan merupakan suatu disiplin yang kaku dimana
anak harus patuh dan tunduk terhadap isi pelajaran tersebut. Biarkanlah pribadi
anak berkembang untuk menemukan kebenaran-kebenaran dalam kebenaran.
2.
Nilai.
Pemahaman eksistensialisme terhadap
nilai, menekankan kebebasan dalam tindakan. Kebebasan bukan tujuan atau suatu
cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan merupakan suatu potensi untuk suatu
tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun menentukan
pilihan-pilihan di antara pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang paling
sukar. Berbuat akan menghasilkan akibat, dimana seseorang harus menerima
akibat-akibat tersebut sebagai pilihannya.
Kebebasan tidak pernah selesai,
karena setiap akibat akan melahirkan kebutuhan untuk pilihan berikutnya.
Tindakan moral mungkin dilakukan untuk moral itu sendiri, dan mungkin juga
untuk suatu tujuan. Seseorang harus berkemampuan untuk menciptakan tujuannya sendiri.
Apabila seseorang mengambil tujuan kelompok atau masyarakat, maka ia harus
menjadikan tujuan-tujuan tersebut sebagai miliknya, sebagai tujuan sendiri,
yang harus ia capai dalam setiap situasi. Jadi, tujuan diperoleh dalam situasi.
3.
Pendidikan.
Eksistensialisme sebagai filsafat
sangat menekankan individualitas dan pemenuhan diri secara pribadi. Setiap
individu dipandang sebagai makhluk unik, dan secara unik pula ia bertanggung
jawab terhadap nasibnya. Dalam hubungannya dengan pendidikan, Sikun Pribadi
(1971) mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan erat sekali dengan
pendidikan, karena keduanya bersinggungan satu dengan yang lainnya pada
masalah-masalah yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan anatar manusia,
hakikat kepribadian, dan kebebasan. Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah
“keberadaan” manusia, sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.
a.
Tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan adalah untuk
mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk
pemenuhan diri. Setiap indivudu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik
berkaitan dengan pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak
ada kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku secara umum.
b.
Kurikulum.
Kaum eksistensialisme menilai
kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu berkontribusi pada pencarian individu
akan makna dan muncul dalam suatu tingkatan kepekaaan personal yang disebut
Greene “kebangkitan yang luas”. Kurikulum ideal adalah kurikulum yang memberikan para siswa kebebasan
individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan
menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.
Menurut pandangan eksistensialisme,
tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih penting daripada yang
lainnya. Mata pelajaran merupakan materi dimana individu akan dapat menemukan
dirinya dan kesadaran akan dunianya. Mata pelajaran yang dapat memenuhi
tuntutan di ats adalah mata pelajaran IPA, sejarah, sastra, filsafat, dan seni.
Bagi beberapa anak, pelajaran yang dapat membantu untuk menemukan dirinya
adalah IPA, namun bagi yang lainnya mungkin saja bisa sejarah, filsafat,
sastra, dan sebagainya.
Dengan
mata-mata pelajaran tersebut, siswa akan berkenalan dengan pandangan dan
wawasan para penulis dan pemikir termasyur, memahami hakikat manusia di dunia,
memahami kebenaran dan kesalahan, kekuasaaan, konflik, penderitaan, dan mati.
Kesemuanya itu merupakan tema-tema yang akan melibatkan siswa baik intelektual maupun
emosional. Sebagai contoh kaum eksistensialisme melihat sejarah sebagai suatu
perjuangan manusia mencapai kebebasan. Siswa harus melibatkan dirinya dalam
periode apapun yang sedang ia pelajari dan menyatukan dirinya dalam
masalah-masalah kepribadian yang sedang dipelajarinya. Sejarah yang ia pelajari
harus dapat membangkitkan pikiran dan perasaannya serta menjadi bagian dari
dirinya.
Kurikulum eksistensialisme
memberikan perhatian yang besar terhadap humaniora dan seni. Karena kedua
materi tersebut diperlukan agar individu dapat mengadakan instrospeksi dan
mengenalkan gambaran dirinya. Pelajar harus didorong untuk melakukan
kegiatan-kegiatan yang dapat mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan, serta
memperoleh pengetahuan yang diharapkan. Eksistensialisme menolak apa yang
disebut penonton teori. Oleh karena itu, sekolah harus mencoba membawa siswa ke
dalam hidup yang sebenarnya.
c.
Proses belajar mengajar.
Menurut Kneller (1971), konsep
belajar mengajar eksistensialisme dapat diaplikasikan dari pandangan Martin
Buber tentang “dialog”. Dialog merupakan percakapan antara pribadi dengan
pribadi, dimana setiap pribadi merupakan subjek bagi yang lainnya. Menurut
Buber kebanyakan proses pendidikan merupakan paksaan. Anak dipaksa menyerah
kepada kehendak guru, atau pada pengetahuan yang tidak fpeksibel, dimna guru
menjadi penguasanya.
Selanjutnya
buber mengemukakan bahwa, guru hendaknya tidak boleh disamakan dengan seorang
instruktur. Jika guru disamakan dengan instruktur maka ia hanya akan merupakan
perantara yang sederhana antara materi pelajaran dan siswa. Seandainya ia hanya
dianggap sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan, dan siswa akan menjadi
hasil dari transfer tersebut. Pengetahuan akan menguasai manusia, sehingga
manusia akan menjadi alat dan produk dri pengetahuan tersebut.
Dalam proses belajar mengajar,
pengetahuan tidak dilimpahkan melainkan ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan
antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog, maka pengetahuan yang akan
diberikan kepada siswa harus menjadi bagian dari pengalaman pribadi guru itu
sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa sebagai pertemuan antara
pribadi dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru tidak merupakan suatu
yang diberikan kepada siswa yang tidak dikuasainya, melainkan merupakan suatu
aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.
d.
Peranan guru.
Menurut pemikiran eksistensialisme,
kehidupan tidak bermakna apa-apa, dan alam semesta berlainan dengan situasi
yang manusia temukan sendiri di dalamnya. Kendatipun demikian dengan kebebasan
yang kita miliki, masing-masing dari kita harus commit sendiri pada penentuan
makna bagi kehidupan kita. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Maxine Greene
(Parkay, 1998), seorang filosof pendidikan terkenal yang karyanya didasarkan
pada eksistensialisme “kita harus mengetahui kehidupan kita, menjelaskan
situasi-situasi kita jika kita memahami dunia dari sudut pendirian bersama”.
Urusan manusia yang paling berharga yang mungkin paling bermanfaat dalam
mengangkat pencarian pribadi akan makna merupakan proses edukatif. Sekalipun
begitu, para guru harus memberikan kebebasan kepada siswa memilih dan memberi
mereka pengalaman-pengalaman yang akan membantu mereka menemukan makna dari
kehidupan mereka. Pendekatan ini berlawanan dengan keyakinan banyak orang,
tidak berarti bahwa para siswa boleh melakukan apa saja yang mereka suka.
Guru
hendaknya member semangat kepada siswa untuk memikirkan dirinya dalam suatu
dialog. Guru menyatakan tentang ide-ide yang dimiliki siswa, dan mengajukan
ide-ide lain, kemudian membimbing siswa untuk memilih alternative-alternatif,
sehingga siswa akan melihat bahwa kebenaran tidak terjadi pada manusia
melainkan dipilih oleh manusia. Lebih dari itu, siswa harus menjadi factor
dalam suatu drama belajar, bukan penonton. Siswa harus belajar keras seperti
gurunya.
Guru harus mampu membimbing dan
mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa mampu berpikir relative dengan
melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti, guru tidak mengarahkan dan tidak
member instruksi. Guru hadir dalam kelas dengan wawasan yang luas agar
betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata pelajaran. Diskusi merupakan
metode utama dalam pandangan eksistemsialisme. Siswa memiliki hak untuk menolak
interpretasi guru tentang pelajaran. Sekolah merupakan suatu forum dimana para
siswa mampu berdialog dengan teman-temannya, dan guru membantu menjelaskan
kemajuan siswa dalam pemenuhan dirinya.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Eksistensialime menekankan pada keberadaan individu manusia
yang ditunjukkan melalui kebebsan Individu dalam membuat sebuah pilihan
atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan. Kebebasan ini ada batasnya,
adapun batasnya adalah kebebasan Individu lain, sehingga dalam kebebsan ini
tidak terjadi benturan kebebasan dengan kebebsan individu satu dengan individu
lain.
Dalam dunia pendidikan Eksistensialisme memberikan kebebasan
bagi individu untuk menentukan tujuan pendidikan yang ia tempuh. Berkaitan
dengan kurikulum individu manusia memiliki kebebsan bahawa kurikulum harus
sesuai dengan kebutuhan Individu dan bukan Individu yang menyesuaikan dengan
kurikulum. Dalam kegiatan pembelajaran guru berperan sebagai media dan
fasilitator dalam membantu dan membimbing siswa dalam memenejemen kebebasannya
agar tidak berbenturan dengan kebebasan orang lain. Sedangkan siswa dalam kegiatan belajar
mengajar memiliki kebebasan untuk memaknai atau merekonstruksi suatu kebenaran
dalam ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui proses belajar shingga hasil dari
proses belajar tidak bersifat kaku.
B.
SARAN
Eksistensi pembelajaran merupakan tonggak utama dalam proses
pembelajaran. Oleh karena itu, sebagai calon pendidik sebaik mungkin kita
mempelajari dan menguasai isi yang terkandung dalam eksistensi pembelajaran,
seperti: Pengetahuan, Nilai, Pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Iman
Barnadib. Edt.Hermawan Hastho Nugroho. Filsafat
Pendidikan. Yogyakarta: Adicita
Karya Nusa. 2002
Eksistensialisme, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Eksistensialisme
Tidak ada komentar:
Posting Komentar