Selasa, 12 Januari 2016

Rempong dan tidak bisa membaca

REMPONG DAN TIDAK BISA MEMBACA
Kenapa sih orang2 sering bertengkar di media sosial?

Karena kita tidak pandai membaca. Kita memang bisa membaca, tapi kita tidak terlatih memahami, melakukan refleksi, mengalami proses membaca dengan baik. Kenapa jadi begini? Karena kita hanya terbiasa membaca media sosial, yang pendek, ringkas, untuk kemudian langsung berkomentar. Berbeda sekali saat kita terlatih membaca buku2 tebal, dengan beragam topik bahasan, beragam penulis, dan sudut pandang, insya Allah, kita akan terlatih berpikir, karena tidak ada tempat menulis komen di halaman buku, kita juga bisa berhenti sejenak, menyerap, lantas memahami banyak hal.

Berikut akan saya tuliskan beberapa (mungkin) kesalahan fatal para pembaca modern:

1. "Semua" vs "Hampir" vs "Nyaris"
Saat ada kalimat, "Nyaris dari seluruh wanita menyukai perhiasan." Maka, orang2 yang tidak terlatih, langsung ngamuk, "Kata siapa? Saya buktinya tidak suka perhiasan. Anda sok tahu sekali menyimpulkan." Ya memang, kan ditulisnya "Nyaris", jadi memang ada yang belum tentu suka. Kecuali ditulis, "Semua wanita menyukai perhiasaan." Baru bolehlah situ merasa tersinggung. Dia mengamuk gara2 tidak pandai membaca.
Nyaris semua kesalapahaman pembaca di media sosial berasal dari hal-hal seperti ini. Tidak terlatih, tidak bisa membedakan istilah "semua", "hampir", "nyaris", "mayoritas", "sedikit sekali", dll. Juga tidak terlatih membedakan definisi sebuah kosa kata. Penggunaan kata.

2. Detail tulisan.
Ada sebuah pengumuman acara misalnya, jelas sekali di sana ditulis, hari dan tanggalnya, tapi lazimnya ada saja yang tiba-tiba menulis komentar, ini acaranya kapan? Ini tempatnya di mana? Dsbgnya, dsbgnya. Sungguh menarik memperhatikan pengguna media sosial, entah apakah mereka memang luput memperhatikan detail, atau boleh jadi memang tidak mau membacanya dengan baik.
Maka, apalagi saat sebuah tulisan membahas hal yang lebih serius. Lebih banyak lagi yang mengabaikan detail sebuah tulisan.
Membaca itu adalah proses utuh, bukan seperti mendengarkan. Kita bisa saja ngobrol dengan orang lain sambil main HP, tapi membaca, adalah proses yang harus dibaca dengan lengkap. Repot sekali jika kita sudah membacanya sepotong saja, tidak detail, untuk kemudian mengamuk.

3. Gaya bahasa.
Saya gunakan sebuah contoh sbb: "Daun yang jatuh tak pernah membenci angin, dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan, mengikhlaskan semuanya.", maka orang yang tidak pandai membaca, akan sibuk membahas tentang daunnya. Orang2 ini berlagak pintar sekali, komentar kemana2, nyolot pula. Kenapa? Entahlah, saya tidak tahu persis. Apakah karena ingin terlihat kerena dan pintar, mencari2 perhatian. Karena pembaca yang terlatih, tentu saja dia paham itu gaya bahasa. Kalaupun dia tidak sependapat, dia akan memilih merenungkannya. Gaya bahasa adalah majas, metafor, dll, dll. Dia memerlukan pemahaman yang baik, dan tidak selalu artinya seperti yang kita bayangkan.

4. Merasa tulisan ditujukan untuknya.
Ini juga kesalahan fatal para pembaca modern. Selalu merasa saat menemukan sebuah tulisan, langsung berpikir, ini menyindir saya, ini ditujukan untuk saya, dan sebagainya. Ada postingan, "Bisulan di pantat itu sakit sekali." Ini hanya misal, dan sedikit lebay, tapi atas postingan sejenis ini di media sosial, tidak sedikit kejadian tiba-tiba ada yang mengamuk di kolom komentar, "Lu nyindir gue yang lagi bisulan? Dasar nenek sihir." Eh, siapa pula yang tahu situ sedang bisulan di pantat? Boleh jadi yang menulis postingan sedang lurus ingin bilang, bisulan di pantat memang sakit. Bagaimana mungkin tulisan itu dibuat untuk kita? Inilah runyamnya, kita tidak memahami substansi tulisan tersebut, kita lebih memilih: ini ditujukan untuk saya.

5. Merasa tulisan selalu soal setuju atau tidak setuju.
Kata siapa tulisan itu harus soal setuju atau tidak setuju? Nyaris semua tulisan di media sosial ini adalah tulisan, tidak lebih tidak kurang. Itu bukan UU, yang semua orang wajib patuh. Entah kenapa, setiap membaca sesuatu, kita hampir selalu langsung harus menyikapinya dengan setuju atau tidak setuju. Untunglah jika setuju, masalah bisa selesai, bagaimana kalau tidak? Kita mulai bertengkar, berantem di kolom komentar. Padahal tidak ada pula yang sedang memaksakan sesuatu. Dalam level lebih serius, tulisan dianggap kebenaran mutlak, suci, aduh, ini repot sekali. Ketahuilah, kita selalu punya kesempatan untuk punya pendapat sendiri, tanpa perlu setuju atau tidak setuju atas sebuah tulisan.

Masih banyak lagi daftarnya, kalian bisa melakukan refleksi sendiri.

Saya selalu menyarankan, bacalah buku, sebanyak mungkin. Itulah yang disebut dengan sebenar2nya membaca. Bukan cuma membaca status facebook, twitter, itu bukan membaca dek. Media sosial itu bisa dibilang lebih kepada "percakapan lisan" (yang mengambil bentuk tulisan). Dengan banyak membaca buku, kita akan mulai terlatih melakukan perenungan. Menyerap, memahami, kemudian menjadikannya tulisan berikutnya. Karena, saat kalian membaca buku setebal 500 halaman, sungguh kalian tidak akan pernah bisa menulis komentar di sana, bukan? Hanya bisa terus dibaca dan dipahami. Di media sosial, kadang terbalik situasinya, ada postingan cuma 1 kalimat, yang komentar mengamuk bisa menulis panjang lebar 50 kalimat. Bukankah itu persis saat bertengkar secara lisan di komplek perumahan, satu orang hanya mengucapkan 1 kalimat, emak-emak rempong (maafkan saya contohnya emak-emak, lagi2 ini hanya gaya bahasa) malah membalasnya dengan kalimat tiada henti selama 10 menit, hingga muncrat ludahnya kemana2. Kita mau jadi emak-emak rempong?

Tere Liye

Tidak ada komentar:

Posting Komentar