SUMBER-SUMBER
PEMIKIRAN RASIOANAL-FILOSOFIS DALAM ISLAM
Filsafat islam sebagai bagian tidak terpisahkan dari
khazanah pemikiran islam, baik dari aspek konten maupun sejarah
perkembangannya, sesungguhnya bukan sesuatu yang sederhana. Banyak aspek dan
hubungan yang harus dipahami, dijelaskan, dan diuraikan. Ketidaktelitian dalam
mencermati, memilih dan memilah persoalan inilah yang menyebabkan kita salah
dalam menilai dan mengambil tindakan. Adanya sikap yang anti filsafat
disebagian kalangan umat islam atau anggapan bahwa filsafat islam tidak lain
adalah jiplakan dari yunani, salah satu sebabnya adanya karena kekurang
telitian tersebut.
Tulusan ini
mencermati persoalan tersebut, berkaitan dengan akar atau sumber-sumber
penalaran rasional dalam islam yang dari sana kemudian berkembang menjadi
sebuah sistem pemikiran logis dan filosofis.
A.
Bukan
dari Yunani
Pemikiran-pemikiran filsafat yunani
yang masuk dalam pemikiran islam, diakui banyak kalangan telah mendorong
perkembangan filsafat islam menjadi makin pesat. Meski demikian, seperti di
tulis Oliver Leaman, hal itu di
buktikan berarti filsafat islam berasal dari terjemahan teks-teks yunani
tersebut atau hanya nukilan dari filsafat Aristoteles (384-322 SM) seperti yang
dituduhkan Ernest Renan (1823-1892 M) atau dari Neo-Platonisme seperti
dituduhkan Pierre Duhem (1861-1916 M). Pertama, belajar atau berguru tidah
berarti hanya meniru atau mebebek semata. Harus dipahami bahwa suatu ide bisa
di bahas oleh banyak orang dan akan tampil dalam berbagai macam fenomena.
Seseorang berhak mengambil gagasan orang lain, tetapi itu semua tidak
menghalanginya untuk menampilkan teori atau filsafatnya sendiri. Aristoteles
misalnya, jelas merupakan murid plato (427-348 SM), tetapi ia mempunyai
pandangan sendiri yang tidak katakan oelh gurunya. Begitu pula Baruch Spinoza
(1632-1677 M), walau secara jelas sebagai pengikut Rene Descartes (1596-1650
M), tetapi ia dianggap mempunyai pandangan filosofis yang berdiri sendiri. Hal
seperti itulah yang juga terjadi pada para filsuf muslim. AL-Farabi (870-950 M)
dan Ibn Rusyd (1126-1198 M), misalnya, walaupun banyak diilhami oleh pemikiran
filsafat yunani, tetapi ia mempunyai pandangan sendiri yang tidak sama dengan
sebelumnya.
Kedua ide, gagasan, atau pemikiran, seperti
dinyatakan Karl A. Steenbrink adalah ekspresi dan hasil dari komunikasi sang
tokoh dengan kondisi sosial lingkungannya. Artinya sebuah ide, gagasan atau
pengetahuan tidak bisa lepas dari akar sosial, tradisi dan keberadaan seseorang
yang melahirkan ide atau pemikiran tersebut. Pemikiran tersebut. Pemikiran
filsafat islam dan yunani lahir dari keyakinan budaya, dan kondisi sosial yang
berbeda. Karena itu, menyamakan dua buah pemikiran yang lahir dari budaya yang
berlainan adalah sesuatu yang tidak tepat sehingga penjelasan karya-karya
muslim secara terpisah secara faktor dan kondisi kulturalnya juga akan menjadi
suatu deskripsi yang tidak lengkap, deskripsi yang tidak bisa menjelaskan
sendiri transformasi besar yang terjadi ketika batas-batas kultural sudah
terlewati.
Berdasarkan hal tersebut, apa yang disebut
sebagai transmisi filsafat yunani ke Arab islam berarti adalah suatu proses
panjang dan kompleks yang justru sering banyak dipengaruhu oleh keyakinan dan
teologis para pelakunya, komdisi budaya yang melingkupi, dan seterusnya;
termasuk dalam istilah-istilah teknis yang digunakan tidak akan lepas dari
konteks dan poblem bahasa arab dan ajaran islam. Konsekuensinya, tugas
rekontruksi sumber-sumber yunani untuk ilmu dan filsafat tidak mungkin selalu
di harapkan dalam terjemahan yang jelas yang dianggap sesuatu yang dianggap asli
yunani, tetapi harus mempertimbangkan aktivitas yang terjadi diluar teks.
Begitu juga perluasan-perluasan, pengembangan, dan penggarapan kembali ide-ide
yunani dari AL-kindi (801-878 M) sampai Ibn Rusyd (1126-1198 M), bahkan
Suhrawardi (1153-1191 M) dan sesudahnya dan tidak mungkin sepenuhnya dapat
diapresiasikan tanpa merujuk pada situasi-situasi kultural yang mengondisikan
arah dan karakter karya-karya tersebut.
Ketiga kenyataan yang ada menunjukan bahwa
pemikiran rasional telah lebih dahulu mapan dalam masyarakat Muslim sebelum
datang filsafat yunani. Meski karya-karya yunani telah diterjemahkan pada masa
kekuasaan Bani Umaiyyah (661-750 M), oleh orang-orang seperti Ja’far Ibn Yahya
Al-Barmaki (767-803 M) tetapi buku-buku filsafatnya yag kemudian melahirkan
filsuf pertama Muslim, yaitu AL-Kindi (801-873 M), baru mulai digarap pada masa
Dinasti Abbasiyah (750-1258 M), khususnya pada masa Khalifah AL-Makmun (811-833
M), oleh tokoh-tokoh seperti Yuhana Ibn Musyawaih (777-857 M) dan Hunain ibn
Ishaq (809-873 M). Pada masa-masa ini, sistem berpikir rasional telah
berkembang pesat dalam masyarakat intelektual Arab-islam, yaitu dalam fiqih
(yurisprudensi) dan kalam (teologi). Dalam teologi, doktrin muktzilah yang
rasional, yang dibangun Wasil Ibn Atha’ (699-748 M) telah mendominasi pemikiran
masyarakat, bahkan menjadi doktrin resmi negara dan berkembang dalam berbagai
cabang dengan tokohnya masing-masing seperti Amr ibn Ubaid (664-761 M),
Mu’ammar ibn Abbad (w. 835 M), Bisyr ibn AL-Mu’tamir (w.840 M) , Jahir Amr ibn
Bahr (781-869 M), Abu Hudzail Ibn Al-Allaf (752-849 M), dan Ibrahim ibn Sayyar
Al-Nadzam (801-835 M). Begitu pula dalam bidang fiqih. Penggunaan nalar
rasional dalam penggalian hukum (istinbath) dengan istilah-istilah seperti istihsan,istishlah, qiyas, dan lainnya
telah lazim digunakan. Tokoh-tokoh mahzab fiqih yang menelurkan metode istinbath dengan menggunakan rasio
seperti itu, seperti Abu Hanifah (699-767 M), Malik (716-796 M), Syafi’i
(767-820 M), dan Ibn Hanbal (780-855 M), hidup sebelum kedatangan filasafat
Yunani.
Semua itu menunjukan bahwa sebelum
dikenal adanya logika dan filsafat Yunani telah ada model pemikiran filosofis yang berjalan baik dalam
masyarakat islam, yaitu dalam soal-soal teologis dan kajian hukum. Artinya,
pemikiran rasional dan filsafat islam tidak berasal dari yunani. Sebaliknya,
pemikiran rasional dari teologi dan hukum islam inilah yang telah berjasa
menyiapkan landasan bagi diterima dan berkembangnya logika dan filsafat yunani
dalam tradisi pemikiran islam.
B.
Berawal
dari Bahasa
Ketika dikatakan bahwa pemikiran
rasional islam tidak bersumber dari filsafah yunani, tetapi benar-benar
berdasar pada ajaran-ajaran pokok islam sendiri, muncul pertanyaan, bagaiman
dari pokok-pokok ajaran islam, yaitu
AL-Qur’an yang global dan tidak mengajarkan tata berpikir secara terperinci
bisa melahirkan sistem berpikir rasional dan filosofis ?
Kemunculan sistem berpikir rasional dalam
islam, seperti juga ditulis Louis Garder dan Anawati, pertama, didorong oleh
munculnya mazhab-mazhab bahasa (nahw) lantaran adanya keperluan untuk dapat
memahami ajaran AL-Qur’an secara baik dan benar. Harus dipahami, meski
AL-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, tetapi tidak semua lafalnya bisa dengan
mudah dipahami oleh orang-orang Arab sendiri saat itu. Sejak Khulafah’
Al-Rasyidin (632-660 M) sudah dirasakan adanya keperluan tentang tafsir dan
cara pembacaan yang benar. Bersamaan dengan semakin banyaknya orang non-Arab
yang masuk islam, keperluan tersebut semakin besar dan mendesak, dan ketika
pengetahuan keagamaan mulai dibicarakan, orang-orang pun semakin merasa perlu
akan adanya kaidah kebahasaan yang memungkinkan orang untuk membaca AL-Qur’an
secara benar, disamping untuk mengetahui kemukjizatan AL-Qur’an dari segi
bahasanya.
Sehubungan dengan hal itu, ada tiga mahzab
nahwu yang dikenal. Pertama, mahzab Basrah. Mahzab ini mempunyai kecendrungan
untuk menegakkan koordinasi rasional terhadap bahasa. Mereka juga membuat
kaidah-kaidah umum dan menanggap tidak benar segala penyimpangan yang dilakukan
terhadap kaidah yang diciptakannya. Menurut sebagian orang, seperti
sumber-sumber syiah, mahzab ini dibangun oleh Abu Aswad Al-Duwali (605-688 M)
atas nasihat imam Ali ibn Abu Thalib r.a. (570-661 M). Akan tetapi,
sumber-sumber lain yang lebih meyakinkan menyatakan bahwa mahzab ini dibangun
oleh Isa ibn Umar Al-Tsaqafi (w.766 M). Tokoh utamanya adalah sibawaih (760-796
M) yang sangat terkenal pada masa kekhalifahan Harun Al-Rasyid (785-809 M),
kemudian Abd Malik Al-Asma’i (740-828 M), Abu Ubaidah (728-825 M), Ibn Yazid Al-Mubbarad
(826-898 M), Al-Sukari (w.888 M), dan Ibn Duraid Al-Azdi (837- 934 M). 17
Kedua, mahzab kufah yang didirikan oleh Ibn
Abdullah Al-kisai (w.805 M) yang merupakan tandingan dari mahzab Basrah.
Berbeda dengan mahzab Basrah yang bersandar pada kaidah logika, mahzab kufah
justru bersandar pada sosiologi bahasa (sima’i) dan lebih menekankan prinsip
universal linguistik sehingga lebih bebas dalam menerima kaidah yang
berbeda-beda. Bahkan, bila perlu, bisa bersandar pada pemakian-pemakain yang
tidak lazim untuk membuat kaidah baru. Tokohnya yang penting adalah Al-Farra’
(w.822 M), Ibn Al-Sikait (w.858 M), Al-Mufadlal Al-Dlabbi (w.876 M), dan Tsa’lab
(w. 904 M).
Ketiga, mahzab Baghdad. Mahza ini berusaha
mempertemukan perbedaan dan persaingan keras antara kedua mahzab diatas dengan
cara menggabungkan dua kecendrungan yang ketat dan longgar diantara keduanya.
Tokoh utamanya adalah Ibn Qutaibah (828-885 M).
Perdebatan anatara mahzab-mahzab nahwu
tersebut memberikan pengaruh besar dalam pembacaan AL-Qur’an, dan pada
gilirannya, nahwu yang dikembangkan dengan cermat telah memberikan suatu
bingkai dan kategori-kategori suatu kosakata yang memberikan catatan khas
pemikiran rasional pada fiqih dan teologi. Artinya, kaidah dan logika dalam
bahasa (nahw) inilah yang telah mendorong munculnya pemikiran rasional dalam
bidang perundangan maupun teologi pada fase-fase berikutnya, sebelum datangnya
filsafat Yunani. Kenyataanya, perdebatan dalam kajian perundangan dan teologi
islam juga berawal dari perdebatan tentang kosakota dan istilah-istilah yang digunakan
dalam teks suci.
Dalam bidang hukum, kajian bahasa tersebut
pada gilirannya mendorong fuqaha untuk menjelaskan maksud-maksud yang
diinginkan dalam teks suci. Dorongan itu semakin kuat seiring dengan adanya
keperluan untuk menjawab masalah-maslah konkret di masyarakat. Pada awal
perkembangan islam, ketika Rasulullah SAW, masih hidup, semua persoalan dapat
diselesaikan dengan cara ditanyakan langsung kepadanya, atau diatasi lewat cara
kesepakatan (ijma) diantara para sahabat. Akan tetapi, hal itu tidak dapat
dilakukan lagi setelah Rasululloh wafat dan persoalan-persoalan semakin banyak
dan rumit seiring dengan perkembangan islam yang demikian cepat. Jalan
satu-satunya adalah kembali kepada ajaran teks suci, AL-Qur’an, lewat berbagai
pemahaman. Dalam hal ini, ada beberapa model kajian resmi yang nyatanya
mempunyai relevansi filosofis dan rasional. Antara lain, (1) penggunaan takwil.
Makna diperlukan untuk mengungkap atau menjelaskan masalah-masalah yang sedang
dibahas. Meski model ini diawasi secara ketat dan terbatas, dalam
pelaksanaannya jelas membutuhkan pemikiran dan perenungan mendalam, karena ia
berusaha “keluar” dari makna lahiriah (zhahir) teks. (2) pembedaan antara
istilah-istilah atau pengertian yang mengandung lebih dari satu makna
(musytarak) dengan istilah-istilah yang hanya mengadung satu arti. Disini
justeru lebih mendekati model penyelesaian falsafi dibanding yang pertama. (3)
penggunaan qiyas (analogi) atas persoalan-persoalan yang tidak ada
penyelesaiannya secara langsung dalam teks. Misalnya, apakah larangan menimbun
emas dan perak (QS Al-Taubah [9]: 34) itu hanya berlaku pada emas dan perak
atau juga meliputi batu permata atau batu berharga ? apakah kata mukmin dan muslim
dalam Al-Qur’an juga mencakup wanita dan budak ?
Yang perlu dicatat dalam pertumbuhan dan
perkembangan kajian perundangan islam (fiqih) ini dalam kaitannya dengan
pemikiran rasional adalah tempat yang diduduki logika dalam
perdebatan-perdebatan fiqihiyah, setidaknya pada lingkungan mereka pendukung
ra’y. Walau logika terpusat pada qiyas dan masih sangat sederhana, tetapi
maknanya cukup besar dalam perkembangan pemikiran rasional. Sering terjadi,
sebelum menjadi seorang falsafah atau teologi, atau yang bersangkutan adalah
faqih (ahli perundangan islam). Ia sudah mempunyai pengalaman yang cukup banyak
tentang metode perdebatan sehingga ketika menghadapi persoalan teologis atau
falsafah, kebiasaan untuk mendekatinya dengan metode perdebatan berlangsung begitu
saja.
Sementara itu, dalam bidang teologi, kajian
bahasa juga telah mendorong para ahli teologi untuk menyelaraskan
pandangan-pandangan yang tampaknya kontradiktif dan rumit untuk selanjutnya menyistematiskannya
dalam suatu gagasan metafisika yang utuh. Misalnya, bagaimana menyelaraskan
antara sifat kemahakuasaan Tuhan disatu sisi dengan sifat mahatahu-Nya atas
segala tindak manusia untuk taat atau kufur untuk kemudian dibalas sesuai
perbuatannya. Bagaimana juga menjelaskan secara tepat bahasa-bahasa anthropomorphic ( menyerupai sifat-sifat manusia ) Al-Qur’an
dalam kaitannya dengan keyakinan bahwa tuhan tidak sama dengan manusia: tidak
bertangan, tidak berkaki, dan seterusnya. Begitu juga dengan
persoalan-persoalan teologis yang lain.
Tuntutan-tuntutan seperti itu
semakin kuat setelah umat islam ikut terlibat dalam polemik keagamaan yang
terjadi antara umat nasrani dengan majusi di Damaskus. Saat itu, di damaskus
yang dijadikan ibu kota penguasa Bani Umayyah (661-750 M), telah terjadi poemik
teologis antara umat Nasrani Armenia dan Syiriah dengan kaum majusi, terutama
menguasai baik dan buruk. Dengan datangnya umat islam berarti ada tiga pihak
yang berpolemik dalam masalah ini. Menurut Yahya Al-Dimasqi atau Saint Jhon of
Damascus (676-749 M) dan pengikutnya yang bernama Theodore Abu Qurrah (750-823
M), ada dua peroalan penting yang menjadi perdebatan pada masa itu.
Pertama, kebebasan dan keterpaksaan manusia.
Ini berkaitan dengan rasionalisasi pembalasan amal perbuatan manusia. Jika manusia
bebas menentukan perbuatannya sendiri maka dapat dipahami jika dia dibalas
sesuai amal perbuatannya, tetapi bagaimana menjelaskan sifat kemahakuasaan
Tuhan yang berkuasa untuk menentukan segala sesuatu, termasuk perbuatan
manusia. Sebaliknya, jika manusia tidak bebas menentukan amal perbuatannya
sendiri karena adanya kemahakuasaan Tuhan, bagaimana manusia harus menerima
balasan atas sesuatu yang tidak dilakukan secara sadar dan atas kemauannya
sendiri.
Kedua, Al-Qur’an, diciptakan atau tidak.
Masalah ini berawal dari persoalan yang berkaitan dengan keyakinan umat islam
bahwa Al-Qur’an adalah “kalam” Tuhan, dan pernyataan dari Al-Qur’an sendiri
bahwa isa adalah juga “kalimah” (perkataan) Tuhan. Artinya, Al-Qur’an dan isa
adalah sama-sama “kalam” atau “kalimah” Tuhan, jika demikian, pertanyaannya,
Al-Qur’an itu diciptakan (hadist) atau tidak (qadim). Pertanyaan ini membawa
dampak teologis. Jika Al-Qur’an itu qadim berarti isa juga qadim, karena
sama-sama “kalam” atau “kalimah” Tuhan. Dengan begitu, berarti benar pengakuan
kaum Nasrani bahwa Isa adalah Tuhan karena ia juga qadim. Sebaliknya, jika
Al-Qur’an adalah hadist (diciptakan) maka berarti Tuhan sebelumnya tidak
mempunyai perkataan (kalam) atau benar tuduhan orang kafir Makkah bahwa
Al-Qur’an adalah karangan Nabi Muhammad belaka.
Polemik-polemik seperti itu menggiring para
Intelektual Muslim periode awal, khususnya para ahli teologi, untuk berpikir
rasional dan filosofis, dan kenyataannya metode-metode analisis yang diberikan
atas masalah teologi tidak berbeda dengan model filsafat Yunani. Perbedaan
diantara keduanya, menurut Leaman, hanyalah teletak pada premis-premis yang
digunakan, bukan pada valid tidaknya tata cara penyusunan teori. Yaitu, bahwa
pemikiran teologi islam didasarkan atas teks suci sedangkan filsafat yunani
didasarkan atas premis-premis logis, pasti, dan baku.
C.
Penerjemahan
Filsafat Yunani
Peradaban dan pemikiran Yunani,
termasuk filsafat, sesungguhnya telah mulai dikenal dan dipelajari kaum sarjana
dikota Antioch, Haran, Edessa, dan Qinnesrin (wilayah Syiria Utara), juga
Nisibis dan Ras’aina (wilayah dataran tinggi irak) sejak abad IV M. Kegiatan
akdemik ini tetap berjalan baik dan tidak terganggu oleh penaklukan tentara
muslim kewilayah tersebut yang terjadi pada masa kekhalifahan Umar Ibn Khattab
(634-644 M). Kenyataannya ini setidaknya bisa dibuktikan dengan masih
semaraknya kajian-kajian teologi dibiara Qinissirin di Syiria dan munculnya
tokoh yang menghasilkan karya-karya filsafat, seperti Severas Sebokht (w.667 M)
yang mengomentari Hermeneutica dan Rhetorica Aristoteles, juga jacob (w.
708 M) yang menulis Enchiridion dan
menerjemahkan Catagories karya
Aristoteles kedalam bahasa Arab.
Karya-karya pemikiran Yunani tersebut kemudian
diterjemahan kedalam bahasa arab pada masa-masa berikutnya. Proses penerjemahan
itu sendiri paling awal dimulai pada masa kekhalifahan Bani Ummayah (661-750 M),
khususnya masa kekhalifahan Abd Al-Malik (685-705 M). Pada masa ini, buku-buku
yang diterjemahkan lebih berkaitan dengan persoalan administrasi,
laporan-laporan dan dokumentasi-dokumentasi pemerintahan, demi untuk
mengimbangi dan melepaskan diri dari pengaruh model administrasi
Bizantium-Persia. Setelah itu, buku-buku yang berkaitan dengan ilmu-ilmu
pragmatis, seperti kedokteran, kimia, dan antropologi. Hanya saja, karena
pemerintahan lebih disibukkan oleh persoalan politik dan ekonomi, usaha-usaha
keilmuan ini tidak berlangsung baik.
Proses penerjemahan atas pemikiran filsafat
Yunani ke dalam bahasa Arab baru benar-benar dilakukan secara serius setelah
masa pemerintahan Bani Abbas (750-1258 M), khususnya pada masa kekuasaan
Khalifah Al-Makmun (811-833 M); suatu program yang oleh Al-Jibiri (1936-2010)
dianggap sebagai tonggak sejarah pertemuan pemikiran rasional Yunani dengan
pemikiran keagamaan Arab-Islam, pertemuan epistemologi burhani Yunani dengan
epistemologi bayani Arab. Menurut Hasymi, saat itu sampai dibentuk tim khusus
yang bertugas melawat kenegri-negri sekitar untuk mencari buku pengetahuanapa
saja yang pantas diterjemahkan dan dikembangkan. Diantara mereka yang dikenal
berjasa dalam usaha-usaha penerjemahan ini adalah Yuhana Ibn Musyawih (777-857
M) dan Hunain Ibn Ishaq (809-873 M). Menurut Montgomery Watt (1909-2006 M),
Hunain ini bahkan mempunyai kelebihan lain dibanding penerjemah yang lain.
Yaitu, bahwa penerjemah umumnya menerjemahkan karya-karya Yunani dari edisi
bahasa Syiria, sementara Hunain, Ibn Ishaq langsung menerjemahkan dari bahasa Yunani
sekaligus mengkajinya secara filosofis. Ini pula yang menjadi catatan
Al-Ghurabi kenapa banyak karya filsafat Yunani diterjemahkan kedalam bahasa
Arab bercampur dengan pandangan Neo-Platonis Kristen Syiria.
Program penerjemahan atas buku-buku filsafat
Yunani tersebut dilakukan secara massal dan gencar karena memang ada kebutuhan
hal itu. Saat itu muncul banyak doktrin yang heterodoks yang datang dari Iran,
India, Persia atau daerah lain dari pinggiran islam, seperti Mazdiah, Manikian,
Materialisme, atau bahkan dari pusat islam sendiri sebagai akibat dari
pencarian bebas yang berubah bentuk menjadi pemikiran bebas seperti penolakan
terhadap wahyu dan lainnya yang dikategorikan dalam istilah zindiq. Untuk menjawab serangan
doktrin-doktrin ini, para sarjana Muslim (ulama) merasa perlu untuk mencari
sistem berpikir rasional dan argumen-argumen yang lebih kuat, karena metode
sebelumnya, bayani, sudah ridak memadai lagi untuk menjwab persoalan-persoalan
baru yang sangat beragam yang tidak dikenal sebelumnya. Karena itulah, Ira M.
Lapidus menyatakan bahwa filsafat bukan sekedar bentuk analisis secara murni,
melainkan telah menjadi bagian dari agama.
D.
Penutup
Berdasarkan uraian diatas dapat
disampaikan kesimpulan sebagai berikut. Pertama, pemikiran rasional filosofis-islam
tidak merupakan jiplakan atau plagiasi dari filsafat yunani sebagaimana yang
dituduhkan sebagian kalangan, meski diakui bahwa filsafat Yunani telah
memberikan kontribusi sangat besar bagi perkembangan pemikiran filsafat islam
sesudahnya. Sebab, kenyataan yang ada menunujukan bahwa pemikiran rasional
dalam hukum (fiqih) dan Teologi Islam Muktazilah telah lebih dahulu mapan
sebelum datangnya filsafat Yunani lewat terjemahan. Pemikiran rasional islam
inilah bahkan yang telah berjasa memberikan ruang bagi diterimanya filsafat
Yunani.
Kedua, sisitem pemikiran rasional islam
tersebut lahir atau muncul dari analisi dan perkembangan bahasa Arab (nahw),
lewat berbagai mahzab yang ada. Berawal dari analisis dan rasionalisasi bahasa
ini kemudian berkembang menjadi rasionalisasi dalam bidang hukum (fiqih) dan
teologi, karena adanya kebutuhan untuk menjelaskan secara rasioanl-filosofis
atas makna dan maksud teks suci dan menjawab problem-problem yang muncul saat
itu secara rasional.
Ketiga, pemikiran dan filsafat Yunani masuk
kedalam Khazanah pemikiran islam pertama kali pada masa khalifah Al-Makmun
(811-833 M) dari dinasti Bani Abbas (750-1258 M), lewat proyek terjemahan.
Proses terjemahan atas pemikiran rasional filsafat Yunani ini sendiri dilakukan
karena telah berkembang dan mapannya tradisi berpikir rasional filosofis
dikalangan masyarakat islam, terutama fiqih dan teologi Muktazilah, disamping
untuk mencari tambahan referensi atau amunisi dalam menghadapi
pemikiran-pemikiran Heterodoks yang juga mulai berkembag saat itu.
Sumber
Soleh Khudari, 2013, Filsafat Islam
dari Klasik Hingga Kontemporer, Jogjakarta, AR-RUZZ MEDIA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar