Minggu, 03 Januari 2016

Sumber Pemikiran Rasional-Filosofis dalam Islam



SUMBER-SUMBER PEMIKIRAN RASIOANAL-FILOSOFIS DALAM ISLAM
Filsafat islam sebagai bagian tidak terpisahkan dari khazanah pemikiran islam, baik dari aspek konten maupun sejarah perkembangannya, sesungguhnya bukan sesuatu yang sederhana. Banyak aspek dan hubungan yang harus dipahami, dijelaskan, dan diuraikan. Ketidaktelitian dalam mencermati, memilih dan memilah persoalan inilah yang menyebabkan kita salah dalam menilai dan mengambil tindakan. Adanya sikap yang anti filsafat disebagian kalangan umat islam atau anggapan bahwa filsafat islam tidak lain adalah jiplakan dari yunani, salah satu sebabnya adanya karena kekurang telitian tersebut.
 Tulusan ini mencermati persoalan tersebut, berkaitan dengan akar atau sumber-sumber penalaran rasional dalam islam yang dari sana kemudian berkembang menjadi sebuah sistem pemikiran logis dan filosofis.
A.    Bukan dari Yunani
Pemikiran-pemikiran filsafat yunani yang masuk dalam pemikiran islam, diakui banyak kalangan telah mendorong perkembangan filsafat islam menjadi makin pesat. Meski demikian, seperti di tulis Oliver Leaman, hal itu di buktikan berarti filsafat islam berasal dari terjemahan teks-teks yunani tersebut atau hanya nukilan dari filsafat Aristoteles (384-322 SM) seperti yang dituduhkan Ernest Renan (1823-1892 M) atau dari Neo-Platonisme seperti dituduhkan Pierre Duhem (1861-1916 M). Pertama, belajar atau berguru tidah berarti hanya meniru atau mebebek semata. Harus dipahami bahwa suatu ide bisa di bahas oleh banyak orang dan akan tampil dalam berbagai macam fenomena. Seseorang berhak mengambil gagasan orang lain, tetapi itu semua tidak menghalanginya untuk menampilkan teori atau filsafatnya sendiri. Aristoteles misalnya, jelas merupakan murid plato (427-348 SM), tetapi ia mempunyai pandangan sendiri yang tidak katakan oelh gurunya. Begitu pula Baruch Spinoza (1632-1677 M), walau secara jelas sebagai pengikut Rene Descartes (1596-1650 M), tetapi ia dianggap mempunyai pandangan filosofis yang berdiri sendiri. Hal seperti itulah yang juga terjadi pada para filsuf muslim. AL-Farabi (870-950 M) dan Ibn Rusyd (1126-1198 M), misalnya, walaupun banyak diilhami oleh pemikiran filsafat yunani, tetapi ia mempunyai pandangan sendiri yang tidak sama dengan sebelumnya.
 Kedua ide, gagasan, atau pemikiran, seperti dinyatakan Karl A. Steenbrink adalah ekspresi dan hasil dari komunikasi sang tokoh dengan kondisi sosial lingkungannya. Artinya sebuah ide, gagasan atau pengetahuan tidak bisa lepas dari akar sosial, tradisi dan keberadaan seseorang yang melahirkan ide atau pemikiran tersebut. Pemikiran tersebut. Pemikiran filsafat islam dan yunani lahir dari keyakinan budaya, dan kondisi sosial yang berbeda. Karena itu, menyamakan dua buah pemikiran yang lahir dari budaya yang berlainan adalah sesuatu yang tidak tepat sehingga penjelasan karya-karya muslim secara terpisah secara faktor dan kondisi kulturalnya juga akan menjadi suatu deskripsi yang tidak lengkap, deskripsi yang tidak bisa menjelaskan sendiri transformasi besar yang terjadi ketika batas-batas kultural sudah terlewati. 
 Berdasarkan hal tersebut, apa yang disebut sebagai transmisi filsafat yunani ke Arab islam berarti adalah suatu proses panjang dan kompleks yang justru sering banyak dipengaruhu oleh keyakinan dan teologis para pelakunya, komdisi budaya yang melingkupi, dan seterusnya; termasuk dalam istilah-istilah teknis yang digunakan tidak akan lepas dari konteks dan poblem bahasa arab dan ajaran islam. Konsekuensinya, tugas rekontruksi sumber-sumber yunani untuk ilmu dan filsafat tidak mungkin selalu di harapkan dalam terjemahan yang jelas yang dianggap sesuatu yang dianggap asli yunani, tetapi harus mempertimbangkan aktivitas yang terjadi diluar teks. Begitu juga perluasan-perluasan, pengembangan, dan penggarapan kembali ide-ide yunani dari AL-kindi (801-878 M) sampai Ibn Rusyd (1126-1198 M), bahkan Suhrawardi (1153-1191 M) dan sesudahnya dan tidak mungkin sepenuhnya dapat diapresiasikan tanpa merujuk pada situasi-situasi kultural yang mengondisikan arah dan karakter karya-karya tersebut.
 Ketiga kenyataan yang ada menunjukan bahwa pemikiran rasional telah lebih dahulu mapan dalam masyarakat Muslim sebelum datang filsafat yunani. Meski karya-karya yunani telah diterjemahkan pada masa kekuasaan Bani Umaiyyah (661-750 M), oleh orang-orang seperti Ja’far Ibn Yahya Al-Barmaki (767-803 M) tetapi buku-buku filsafatnya yag kemudian melahirkan filsuf pertama Muslim, yaitu AL-Kindi (801-873 M), baru mulai digarap pada masa Dinasti Abbasiyah (750-1258 M), khususnya pada masa Khalifah AL-Makmun (811-833 M), oleh tokoh-tokoh seperti Yuhana Ibn Musyawaih (777-857 M) dan Hunain ibn Ishaq (809-873 M). Pada masa-masa ini, sistem berpikir rasional telah berkembang pesat dalam masyarakat intelektual Arab-islam, yaitu dalam fiqih (yurisprudensi) dan kalam (teologi). Dalam teologi, doktrin muktzilah yang rasional, yang dibangun Wasil Ibn Atha’ (699-748 M) telah mendominasi pemikiran masyarakat, bahkan menjadi doktrin resmi negara dan berkembang dalam berbagai cabang dengan tokohnya masing-masing seperti Amr ibn Ubaid (664-761 M), Mu’ammar ibn Abbad (w. 835 M), Bisyr ibn AL-Mu’tamir (w.840 M) , Jahir Amr ibn Bahr (781-869 M), Abu Hudzail Ibn Al-Allaf (752-849 M), dan Ibrahim ibn Sayyar Al-Nadzam (801-835 M). Begitu pula dalam bidang fiqih. Penggunaan nalar rasional dalam penggalian hukum (istinbath) dengan istilah-istilah seperti istihsan,istishlah, qiyas, dan lainnya telah lazim digunakan. Tokoh-tokoh mahzab fiqih yang menelurkan metode istinbath dengan menggunakan rasio seperti itu, seperti Abu Hanifah (699-767 M), Malik (716-796 M), Syafi’i (767-820 M), dan Ibn Hanbal (780-855 M), hidup sebelum kedatangan filasafat Yunani.
Semua itu menunjukan bahwa sebelum dikenal adanya logika dan filsafat Yunani telah ada model  pemikiran filosofis yang berjalan baik dalam masyarakat islam, yaitu dalam soal-soal teologis dan kajian hukum. Artinya, pemikiran rasional dan filsafat islam tidak berasal dari yunani. Sebaliknya, pemikiran rasional dari teologi dan hukum islam inilah yang telah berjasa menyiapkan landasan bagi diterima dan berkembangnya logika dan filsafat yunani dalam tradisi pemikiran islam.
B.     Berawal dari Bahasa
Ketika dikatakan bahwa pemikiran rasional islam tidak bersumber dari filsafah yunani, tetapi benar-benar berdasar pada ajaran-ajaran pokok islam sendiri, muncul pertanyaan, bagaiman dari  pokok-pokok ajaran islam, yaitu AL-Qur’an yang global dan tidak mengajarkan tata berpikir secara terperinci bisa melahirkan sistem berpikir rasional dan filosofis ?
 Kemunculan sistem berpikir rasional dalam islam, seperti juga ditulis Louis Garder dan Anawati, pertama, didorong oleh munculnya mazhab-mazhab bahasa (nahw) lantaran adanya keperluan untuk dapat memahami ajaran AL-Qur’an secara baik dan benar. Harus dipahami, meski AL-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, tetapi tidak semua lafalnya bisa dengan mudah dipahami oleh orang-orang Arab sendiri saat itu. Sejak Khulafah’ Al-Rasyidin (632-660 M) sudah dirasakan adanya keperluan tentang tafsir dan cara pembacaan yang benar. Bersamaan dengan semakin banyaknya orang non-Arab yang masuk islam, keperluan tersebut semakin besar dan mendesak, dan ketika pengetahuan keagamaan mulai dibicarakan, orang-orang pun semakin merasa perlu akan adanya kaidah kebahasaan yang memungkinkan orang untuk membaca AL-Qur’an secara benar, disamping untuk mengetahui kemukjizatan AL-Qur’an dari segi bahasanya.
 Sehubungan dengan hal itu, ada tiga mahzab nahwu yang dikenal. Pertama, mahzab Basrah. Mahzab ini mempunyai kecendrungan untuk menegakkan koordinasi rasional terhadap bahasa. Mereka juga membuat kaidah-kaidah umum dan menanggap tidak benar segala penyimpangan yang dilakukan terhadap kaidah yang diciptakannya. Menurut sebagian orang, seperti sumber-sumber syiah, mahzab ini dibangun oleh Abu Aswad Al-Duwali (605-688 M) atas nasihat imam Ali ibn Abu Thalib r.a. (570-661 M). Akan tetapi, sumber-sumber lain yang lebih meyakinkan menyatakan bahwa mahzab ini dibangun oleh Isa ibn Umar Al-Tsaqafi (w.766 M). Tokoh utamanya adalah sibawaih (760-796 M) yang sangat terkenal pada masa kekhalifahan Harun Al-Rasyid (785-809 M), kemudian Abd Malik Al-Asma’i (740-828 M), Abu Ubaidah (728-825 M), Ibn Yazid Al-Mubbarad (826-898 M), Al-Sukari (w.888 M), dan Ibn Duraid Al-Azdi (837- 934 M). 17
 Kedua, mahzab kufah yang didirikan oleh Ibn Abdullah Al-kisai (w.805 M) yang merupakan tandingan dari mahzab Basrah. Berbeda dengan mahzab Basrah yang bersandar pada kaidah logika, mahzab kufah justru bersandar pada sosiologi bahasa (sima’i) dan lebih menekankan prinsip universal linguistik sehingga lebih bebas dalam menerima kaidah yang berbeda-beda. Bahkan, bila perlu, bisa bersandar pada pemakian-pemakain yang tidak lazim untuk membuat kaidah baru. Tokohnya yang penting adalah Al-Farra’ (w.822 M), Ibn Al-Sikait (w.858 M), Al-Mufadlal Al-Dlabbi (w.876 M), dan Tsa’lab (w. 904 M).
 Ketiga, mahzab Baghdad. Mahza ini berusaha mempertemukan perbedaan dan persaingan keras antara kedua mahzab diatas dengan cara menggabungkan dua kecendrungan yang ketat dan longgar diantara keduanya. Tokoh utamanya adalah Ibn Qutaibah (828-885 M).
 Perdebatan anatara mahzab-mahzab nahwu tersebut memberikan pengaruh besar dalam pembacaan AL-Qur’an, dan pada gilirannya, nahwu yang dikembangkan dengan cermat telah memberikan suatu bingkai dan kategori-kategori suatu kosakata yang memberikan catatan khas pemikiran rasional pada fiqih dan teologi. Artinya, kaidah dan logika dalam bahasa (nahw) inilah yang telah mendorong munculnya pemikiran rasional dalam bidang perundangan maupun teologi pada fase-fase berikutnya, sebelum datangnya filsafat Yunani. Kenyataanya, perdebatan dalam kajian perundangan dan teologi islam juga berawal dari perdebatan tentang kosakota dan istilah-istilah yang digunakan dalam teks suci.
 Dalam bidang hukum, kajian bahasa tersebut pada gilirannya mendorong fuqaha untuk menjelaskan maksud-maksud yang diinginkan dalam teks suci. Dorongan itu semakin kuat seiring dengan adanya keperluan untuk menjawab masalah-maslah konkret di masyarakat. Pada awal perkembangan islam, ketika Rasulullah SAW, masih hidup, semua persoalan dapat diselesaikan dengan cara ditanyakan langsung kepadanya, atau diatasi lewat cara kesepakatan (ijma) diantara para sahabat. Akan tetapi, hal itu tidak dapat dilakukan lagi setelah Rasululloh wafat dan persoalan-persoalan semakin banyak dan rumit seiring dengan perkembangan islam yang demikian cepat. Jalan satu-satunya adalah kembali kepada ajaran teks suci, AL-Qur’an, lewat berbagai pemahaman. Dalam hal ini, ada beberapa model kajian resmi yang nyatanya mempunyai relevansi filosofis dan rasional. Antara lain, (1) penggunaan takwil. Makna diperlukan untuk mengungkap atau menjelaskan masalah-masalah yang sedang dibahas. Meski model ini diawasi secara ketat dan terbatas, dalam pelaksanaannya jelas membutuhkan pemikiran dan perenungan mendalam, karena ia berusaha “keluar” dari makna lahiriah (zhahir) teks. (2) pembedaan antara istilah-istilah atau pengertian yang mengandung lebih dari satu makna (musytarak) dengan istilah-istilah yang hanya mengadung satu arti. Disini justeru lebih mendekati model penyelesaian falsafi dibanding yang pertama. (3) penggunaan qiyas (analogi) atas persoalan-persoalan yang tidak ada penyelesaiannya secara langsung dalam teks. Misalnya, apakah larangan menimbun emas dan perak (QS Al-Taubah [9]: 34) itu hanya berlaku pada emas dan perak atau juga meliputi batu permata atau batu berharga ? apakah kata mukmin dan muslim dalam Al-Qur’an juga mencakup wanita dan budak ?
 Yang perlu dicatat dalam pertumbuhan dan perkembangan kajian perundangan islam (fiqih) ini dalam kaitannya dengan pemikiran rasional adalah tempat yang diduduki logika dalam perdebatan-perdebatan fiqihiyah, setidaknya pada lingkungan mereka pendukung ra’y. Walau logika terpusat pada qiyas dan masih sangat sederhana, tetapi maknanya cukup besar dalam perkembangan pemikiran rasional. Sering terjadi, sebelum menjadi seorang falsafah atau teologi, atau yang bersangkutan adalah faqih (ahli perundangan islam). Ia sudah mempunyai pengalaman yang cukup banyak tentang metode perdebatan sehingga ketika menghadapi persoalan teologis atau falsafah, kebiasaan untuk mendekatinya dengan metode perdebatan berlangsung begitu saja.
 Sementara itu, dalam bidang teologi, kajian bahasa juga telah mendorong para ahli teologi untuk menyelaraskan pandangan-pandangan yang tampaknya kontradiktif dan rumit untuk selanjutnya menyistematiskannya dalam suatu gagasan metafisika yang utuh. Misalnya, bagaimana menyelaraskan antara sifat kemahakuasaan Tuhan disatu sisi dengan sifat mahatahu-Nya atas segala tindak manusia untuk taat atau kufur untuk kemudian dibalas sesuai perbuatannya. Bagaimana juga menjelaskan secara tepat bahasa-bahasa anthropomorphic  ( menyerupai sifat-sifat manusia ) Al-Qur’an dalam kaitannya dengan keyakinan bahwa tuhan tidak sama dengan manusia: tidak bertangan, tidak berkaki, dan seterusnya. Begitu juga dengan persoalan-persoalan teologis yang lain.
Tuntutan-tuntutan seperti itu semakin kuat setelah umat islam ikut terlibat dalam polemik keagamaan yang terjadi antara umat nasrani dengan majusi di Damaskus. Saat itu, di damaskus yang dijadikan ibu kota penguasa Bani Umayyah (661-750 M), telah terjadi poemik teologis antara umat Nasrani Armenia dan Syiriah dengan kaum majusi, terutama menguasai baik dan buruk. Dengan datangnya umat islam berarti ada tiga pihak yang berpolemik dalam masalah ini. Menurut Yahya Al-Dimasqi atau Saint Jhon of Damascus (676-749 M) dan pengikutnya yang bernama Theodore Abu Qurrah (750-823 M), ada dua peroalan penting yang menjadi perdebatan pada masa itu.
 Pertama, kebebasan dan keterpaksaan manusia. Ini berkaitan dengan rasionalisasi pembalasan amal perbuatan manusia. Jika manusia bebas menentukan perbuatannya sendiri maka dapat dipahami jika dia dibalas sesuai amal perbuatannya, tetapi bagaimana menjelaskan sifat kemahakuasaan Tuhan yang berkuasa untuk menentukan segala sesuatu, termasuk perbuatan manusia. Sebaliknya, jika manusia tidak bebas menentukan amal perbuatannya sendiri karena adanya kemahakuasaan Tuhan, bagaimana manusia harus menerima balasan atas sesuatu yang tidak dilakukan secara sadar dan atas kemauannya sendiri.
 Kedua, Al-Qur’an, diciptakan atau tidak. Masalah ini berawal dari persoalan yang berkaitan dengan keyakinan umat islam bahwa Al-Qur’an adalah “kalam” Tuhan, dan pernyataan dari Al-Qur’an sendiri bahwa isa adalah juga “kalimah” (perkataan) Tuhan. Artinya, Al-Qur’an dan isa adalah sama-sama “kalam” atau “kalimah” Tuhan, jika demikian, pertanyaannya, Al-Qur’an itu diciptakan (hadist) atau tidak (qadim). Pertanyaan ini membawa dampak teologis. Jika Al-Qur’an itu qadim berarti isa juga qadim, karena sama-sama “kalam” atau “kalimah” Tuhan. Dengan begitu, berarti benar pengakuan kaum Nasrani bahwa Isa adalah Tuhan karena ia juga qadim. Sebaliknya, jika Al-Qur’an adalah hadist (diciptakan) maka berarti Tuhan sebelumnya tidak mempunyai perkataan (kalam) atau benar tuduhan orang kafir Makkah bahwa Al-Qur’an adalah karangan Nabi Muhammad belaka.
 Polemik-polemik seperti itu menggiring para Intelektual Muslim periode awal, khususnya para ahli teologi, untuk berpikir rasional dan filosofis, dan kenyataannya metode-metode analisis yang diberikan atas masalah teologi tidak berbeda dengan model filsafat Yunani. Perbedaan diantara keduanya, menurut Leaman, hanyalah teletak pada premis-premis yang digunakan, bukan pada valid tidaknya tata cara penyusunan teori. Yaitu, bahwa pemikiran teologi islam didasarkan atas teks suci sedangkan filsafat yunani didasarkan atas premis-premis logis, pasti, dan baku.
C.    Penerjemahan Filsafat Yunani
Peradaban dan pemikiran Yunani, termasuk filsafat, sesungguhnya telah mulai dikenal dan dipelajari kaum sarjana dikota Antioch, Haran, Edessa, dan Qinnesrin (wilayah Syiria Utara), juga Nisibis dan Ras’aina (wilayah dataran tinggi irak) sejak abad IV M. Kegiatan akdemik ini tetap berjalan baik dan tidak terganggu oleh penaklukan tentara muslim kewilayah tersebut yang terjadi pada masa kekhalifahan Umar Ibn Khattab (634-644 M). Kenyataannya ini setidaknya bisa dibuktikan dengan masih semaraknya kajian-kajian teologi dibiara Qinissirin di Syiria dan munculnya tokoh yang menghasilkan karya-karya filsafat, seperti Severas Sebokht (w.667 M) yang mengomentari Hermeneutica dan Rhetorica Aristoteles, juga jacob (w. 708 M) yang menulis Enchiridion dan menerjemahkan Catagories karya Aristoteles kedalam bahasa Arab.  
 Karya-karya pemikiran Yunani tersebut kemudian diterjemahan kedalam bahasa arab pada masa-masa berikutnya. Proses penerjemahan itu sendiri paling awal dimulai pada masa kekhalifahan Bani Ummayah (661-750 M), khususnya masa kekhalifahan Abd Al-Malik (685-705 M). Pada masa ini, buku-buku yang diterjemahkan lebih berkaitan dengan persoalan administrasi, laporan-laporan dan dokumentasi-dokumentasi pemerintahan, demi untuk mengimbangi dan melepaskan diri dari pengaruh model administrasi Bizantium-Persia. Setelah itu, buku-buku yang berkaitan dengan ilmu-ilmu pragmatis, seperti kedokteran, kimia, dan antropologi. Hanya saja, karena pemerintahan lebih disibukkan oleh persoalan politik dan ekonomi, usaha-usaha keilmuan ini tidak berlangsung baik.
 Proses penerjemahan atas pemikiran filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab baru benar-benar dilakukan secara serius setelah masa pemerintahan Bani Abbas (750-1258 M), khususnya pada masa kekuasaan Khalifah Al-Makmun (811-833 M); suatu program yang oleh Al-Jibiri (1936-2010) dianggap sebagai tonggak sejarah pertemuan pemikiran rasional Yunani dengan pemikiran keagamaan Arab-Islam, pertemuan epistemologi burhani Yunani dengan epistemologi bayani Arab. Menurut Hasymi, saat itu sampai dibentuk tim khusus yang bertugas melawat kenegri-negri sekitar untuk mencari buku pengetahuanapa saja yang pantas diterjemahkan dan dikembangkan. Diantara mereka yang dikenal berjasa dalam usaha-usaha penerjemahan ini adalah Yuhana Ibn Musyawih (777-857 M) dan Hunain Ibn Ishaq (809-873 M). Menurut Montgomery Watt (1909-2006 M), Hunain ini bahkan mempunyai kelebihan lain dibanding penerjemah yang lain. Yaitu, bahwa penerjemah umumnya menerjemahkan karya-karya Yunani dari edisi bahasa Syiria, sementara Hunain, Ibn Ishaq langsung menerjemahkan dari bahasa Yunani sekaligus mengkajinya secara filosofis. Ini pula yang menjadi catatan Al-Ghurabi kenapa banyak karya filsafat Yunani diterjemahkan kedalam bahasa Arab bercampur dengan pandangan Neo-Platonis Kristen Syiria.
 Program penerjemahan atas buku-buku filsafat Yunani tersebut dilakukan secara massal dan gencar karena memang ada kebutuhan hal itu. Saat itu muncul banyak doktrin yang heterodoks yang datang dari Iran, India, Persia atau daerah lain dari pinggiran islam, seperti Mazdiah, Manikian, Materialisme, atau bahkan dari pusat islam sendiri sebagai akibat dari pencarian bebas yang berubah bentuk menjadi pemikiran bebas seperti penolakan terhadap wahyu dan lainnya yang dikategorikan dalam istilah zindiq. Untuk menjawab serangan doktrin-doktrin ini, para sarjana Muslim (ulama) merasa perlu untuk mencari sistem berpikir rasional dan argumen-argumen yang lebih kuat, karena metode sebelumnya, bayani, sudah ridak memadai lagi untuk menjwab persoalan-persoalan baru yang sangat beragam yang tidak dikenal sebelumnya. Karena itulah, Ira M. Lapidus menyatakan bahwa filsafat bukan sekedar bentuk analisis secara murni, melainkan telah menjadi bagian dari agama.
D.    Penutup 
Berdasarkan uraian diatas dapat disampaikan kesimpulan sebagai berikut. Pertama, pemikiran rasional filosofis-islam tidak merupakan jiplakan atau plagiasi dari filsafat yunani sebagaimana yang dituduhkan sebagian kalangan, meski diakui bahwa filsafat Yunani telah memberikan kontribusi sangat besar bagi perkembangan pemikiran filsafat islam sesudahnya. Sebab, kenyataan yang ada menunujukan bahwa pemikiran rasional dalam hukum (fiqih) dan Teologi Islam Muktazilah telah lebih dahulu mapan sebelum datangnya filsafat Yunani lewat terjemahan. Pemikiran rasional islam inilah bahkan yang telah berjasa memberikan ruang bagi diterimanya filsafat Yunani.
 Kedua, sisitem pemikiran rasional islam tersebut lahir atau muncul dari analisi dan perkembangan bahasa Arab (nahw), lewat berbagai mahzab yang ada. Berawal dari analisis dan rasionalisasi bahasa ini kemudian berkembang menjadi rasionalisasi dalam bidang hukum (fiqih) dan teologi, karena adanya kebutuhan untuk menjelaskan secara rasioanl-filosofis atas makna dan maksud teks suci dan menjawab problem-problem yang muncul saat itu secara rasional.
 Ketiga, pemikiran dan filsafat Yunani masuk kedalam Khazanah pemikiran islam pertama kali pada masa khalifah Al-Makmun (811-833 M) dari dinasti Bani Abbas (750-1258 M), lewat proyek terjemahan. Proses terjemahan atas pemikiran rasional filsafat Yunani ini sendiri dilakukan karena telah berkembang dan mapannya tradisi berpikir rasional filosofis dikalangan masyarakat islam, terutama fiqih dan teologi Muktazilah, disamping untuk mencari tambahan referensi atau amunisi dalam menghadapi pemikiran-pemikiran Heterodoks yang juga mulai berkembag saat itu.  


Sumber
Soleh Khudari, 2013, Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer, Jogjakarta, AR-RUZZ MEDIA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar