Soul
Kehidupan
modern hari ini, membuat kita lupa bahwa definisi kehidupan itu tidak
sekadar fisik luar. Hidup ini bukan sekadar lapar, lantas makan. Dingin,
lantas berjemur. Panas, lantas mencari kipas angin atau AC. Kebelet
pipis, pergi ke toilet. Rambut sudah panjang, ayo dicukur, badan sudah
kotor segera mandi, dll dsbgnya. Bagi manusia, hidup tidak sesimpel itu.
Karena kita punya jiwa. Soul.
Orang-orang
modern silahkan melupakan bahwa ada jiwa yang hidup di dalam fisiknya,
silahkan pula lebih sibuk mengukur kualitas hidup dari tampilan casing,
botol, tampilan luarnya, tapi sejatinya, hakikat kehidupan seseorang ada
di jiwanya. Hei, fisik akan tua, keriput dan kemudian layu mati, tapi
jiwa, soul, dia akan tetap ada di sana.
Maka,
tidakkah kita tergerak untuk lebih peduli pada jiwa kita? Jika fisik
dikasih makan, apakah jiwa kita juga dikasih makan? Jika fisik dingin,
panas, kemudian kita bereaksi memenuhi kebutuhannya, apakah kita juga
bereaksi atas kebutuhan jiwa kita? Kita bergegas mencuci tangan jika
kotor, kenapa kita tidak bergegas mencuci jiwa kita saat kita mudah
sekali membenarkan prilaku korup, kotor lainnya? Ketahuilah, banyak
masalah hidup ini bisa dijelaskan dari “kesehatan jiwa” seseorang--well
yeah, tentu bukan apakah dia waras atau gila, melainkan soal bagaimana
jiwanya terlihat tampan atau cantik.
Apakah
jiwa kita adalah jiwa amarah? Jika kita mudah sekali marah, mudah sekali
kecewa, sedih, dan semua reaksi emosional lainnya, boleh jadi, jiwa
kita ada dalam level ini. Jika kita mudah sekali melakukan maksiat,
aniaya pada orang lain, tidak punya rasa empati, anti-sosial, mau menang
sendiri, egois, maka kita ada dalam level ini, jiwa pemarah! Tidak
perlu sibuk meminta pendapat orang lain soal apakah kita pemarah atau
bukan, toh, yang tahu persis kita sendiri, seberapa sering kita emosian,
baik di dunia nyata, pun di dunia maya. Seberapa cepat kita pamer.
Seberapa besar kepalsuan hidup kita.
Atau
apakah jiwa kita adalah jiwa yang tenang? Yang bisa mengontrol rasa
marah, berlebihan, sia-sia dan hal-hal negatif lainnya. Yang tergerak
untuk mengerjakan kebaikan, pun juga mencegah keburukan. Yang bisa
menerima nasehat dan menasehati orang lain. Yang bisa saja fisiknya
lumpuh, lemah tak berdaya, tapi sungguh jiwanya tetap hidup, memancarkan
kebermanfaatan bagi orang lain. Sungguh beruntung orang-orang yang
memiliki jiwa yang tenang, dia tidak membutuhkan penilaian mahkluk, buat
apa? Toh, luarnya saja yang terlihat, di dalam hati, di jiwanya, hanya
Tuhan yang tahu.
Adik-adik sekalian, kita
bisa membahas dalam sekali soal jiwa ini. Cabang-cabangnya,
ranting-rantingnya. Tidak akan cukup dituliskan di catatan ini.
Pendeknya, pahamilah, ada “jiwa” di fisik kita. Sadari.
Saat
kita mengunyah makanan lezat, fisik kita mengonfirmasi betapa lezatnya
makanan tersebut, gizinya membuat fisik kita sehat dan prima. Maka,
berikanlah jiwa kita juga asupan gizi yang terbaik. Tidakkah kalian
rindu jiwa kalian juga merasakan lezatnya sesuatu, mengalir lembut dalam
relung hati. Membaca buku2, menimba ilmu pengetahuan, menghadiri
kajian, atau menonton tayangan yang positif, adalah makanan lezat bagi
jiwa kita.
Pun sama, kita bergegas mencuci
tangan jika ada kotoran di sana, bukan? Jijik sekali. Maka bergegaslah
mencuci jiwa kita ketika ada kotoran menempel di sana. Saat kita mudah
sekali tersinggung, bergegas cuci jiwa kita. Saat kita berkata-kata
kotor, menjelek2an, bergegas cuci, jangan biarkan dia menumpuk, karena
besok-lusa, jangan-jangan kita malah kebal dengan kotoran di jiwa kita.
Bagaimana mencucinya? Yang paling mudah adalah bergegas istigfar,
sungguh2 menyesal dan tidak mau lagi begitu, tentu ini murah-meriah,
bisa dilakukan kapan pun. Di level berikutnya, ayo dirikan shalat. Juga
lakukanlah perjalanan melihat dunia, basuh diri kita dari semua sempit,
kusam dan jeleknya pemahaman.
Sungguh,
eksistensi hidup kita itu, hakikatnya tidak pernah diukur dari kapasitas
fisik kita. Eksistensi hidup kita diukur dari jiwa kita. Maka, itulah
kenapa, seseorang yang amat sederhana, tidak kaya-raya, bukan raja
hebat, bukan pula saudagar kaya-raya, ternyata hidupnya amat mulia,
karena dia punya jiwa yang mengagumkan. Pahamilah filosofi hidup ini,
ayo berhenti sejenak, dengarkan, tidakkah kalian mendengar bisikan jiwa
kalian di dalam sana. Jangan dilupakan lagi.
*Tere Liye
Tidak ada komentar:
Posting Komentar