Selasa, 12 Januari 2016

definisi kehidupan

Soul

Kehidupan modern hari ini, membuat kita lupa bahwa definisi kehidupan itu tidak sekadar fisik luar. Hidup ini bukan sekadar lapar, lantas makan. Dingin, lantas berjemur. Panas, lantas mencari kipas angin atau AC. Kebelet pipis, pergi ke toilet. Rambut sudah panjang, ayo dicukur, badan sudah kotor segera mandi, dll dsbgnya. Bagi manusia, hidup tidak sesimpel itu.
Karena kita punya jiwa. Soul.
Orang-orang modern silahkan melupakan bahwa ada jiwa yang hidup di dalam fisiknya, silahkan pula lebih sibuk mengukur kualitas hidup dari tampilan casing, botol, tampilan luarnya, tapi sejatinya, hakikat kehidupan seseorang ada di jiwanya. Hei, fisik akan tua, keriput dan kemudian layu mati, tapi jiwa, soul, dia akan tetap ada di sana.
Maka, tidakkah kita tergerak untuk lebih peduli pada jiwa kita? Jika fisik dikasih makan, apakah jiwa kita juga dikasih makan? Jika fisik dingin, panas, kemudian kita bereaksi memenuhi kebutuhannya, apakah kita juga bereaksi atas kebutuhan jiwa kita? Kita bergegas mencuci tangan jika kotor, kenapa kita tidak bergegas mencuci jiwa kita saat kita mudah sekali membenarkan prilaku korup, kotor lainnya? Ketahuilah, banyak masalah hidup ini bisa dijelaskan dari “kesehatan jiwa” seseorang--well yeah, tentu bukan apakah dia waras atau gila, melainkan soal bagaimana jiwanya terlihat tampan atau cantik.
Apakah jiwa kita adalah jiwa amarah? Jika kita mudah sekali marah, mudah sekali kecewa, sedih, dan semua reaksi emosional lainnya, boleh jadi, jiwa kita ada dalam level ini. Jika kita mudah sekali melakukan maksiat, aniaya pada orang lain, tidak punya rasa empati, anti-sosial, mau menang sendiri, egois, maka kita ada dalam level ini, jiwa pemarah! Tidak perlu sibuk meminta pendapat orang lain soal apakah kita pemarah atau bukan, toh, yang tahu persis kita sendiri, seberapa sering kita emosian, baik di dunia nyata, pun di dunia maya. Seberapa cepat kita pamer. Seberapa besar kepalsuan hidup kita.
Atau apakah jiwa kita adalah jiwa yang tenang? Yang bisa mengontrol rasa marah, berlebihan, sia-sia dan hal-hal negatif lainnya. Yang tergerak untuk mengerjakan kebaikan, pun juga mencegah keburukan. Yang bisa menerima nasehat dan menasehati orang lain. Yang bisa saja fisiknya lumpuh, lemah tak berdaya, tapi sungguh jiwanya tetap hidup, memancarkan kebermanfaatan bagi orang lain. Sungguh beruntung orang-orang yang memiliki jiwa yang tenang, dia tidak membutuhkan penilaian mahkluk, buat apa? Toh, luarnya saja yang terlihat, di dalam hati, di jiwanya, hanya Tuhan yang tahu.
Adik-adik sekalian, kita bisa membahas dalam sekali soal jiwa ini. Cabang-cabangnya, ranting-rantingnya. Tidak akan cukup dituliskan di catatan ini. Pendeknya, pahamilah, ada “jiwa” di fisik kita. Sadari.
Saat kita mengunyah makanan lezat, fisik kita mengonfirmasi betapa lezatnya makanan tersebut, gizinya membuat fisik kita sehat dan prima. Maka, berikanlah jiwa kita juga asupan gizi yang terbaik. Tidakkah kalian rindu jiwa kalian juga merasakan lezatnya sesuatu, mengalir lembut dalam relung hati. Membaca buku2, menimba ilmu pengetahuan, menghadiri kajian, atau menonton tayangan yang positif, adalah makanan lezat bagi jiwa kita.
Pun sama, kita bergegas mencuci tangan jika ada kotoran di sana, bukan? Jijik sekali. Maka bergegaslah mencuci jiwa kita ketika ada kotoran menempel di sana. Saat kita mudah sekali tersinggung, bergegas cuci jiwa kita. Saat kita berkata-kata kotor, menjelek2an, bergegas cuci, jangan biarkan dia menumpuk, karena besok-lusa, jangan-jangan kita malah kebal dengan kotoran di jiwa kita. Bagaimana mencucinya? Yang paling mudah adalah bergegas istigfar, sungguh2 menyesal dan tidak mau lagi begitu, tentu ini murah-meriah, bisa dilakukan kapan pun. Di level berikutnya, ayo dirikan shalat. Juga lakukanlah perjalanan melihat dunia, basuh diri kita dari semua sempit, kusam dan jeleknya pemahaman.
Sungguh, eksistensi hidup kita itu, hakikatnya tidak pernah diukur dari kapasitas fisik kita. Eksistensi hidup kita diukur dari jiwa kita. Maka, itulah kenapa, seseorang yang amat sederhana, tidak kaya-raya, bukan raja hebat, bukan pula saudagar kaya-raya, ternyata hidupnya amat mulia, karena dia punya jiwa yang mengagumkan. Pahamilah filosofi hidup ini, ayo berhenti sejenak, dengarkan, tidakkah kalian mendengar bisikan jiwa kalian di dalam sana. Jangan dilupakan lagi.
*Tere Liye

Tidak ada komentar:

Posting Komentar