Memamerkan
Diri (Tabarruj) yang Dilarang
Yang dimaksud dengan memamerkan diri (tabarruj) yang
dilarang disini adalah menampakan sesuatu yang sepatutnya ditutupi. Menurut
Miqati ibn Hayyam, termasuk kategori memamerkan diri atau tabaruj adalah
melepas penutup kepala atau kerudung dari kepalanya sehingga terlihat kalung,
anting-anting, dan lehernya. Padahal, Allah SWT. Telah memerintahkan kepada
wanita agar menahan pandangan mereka dan tidak menampakkan perhiasan yang
mereka pakai, kecuali dihadapan mahram-mahram mereka, katakanlah kepada wanita
yang beriman agar mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa)
tampak darinya. dan hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dadanya, dan
janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami
mereka,..(QS Al-Nur [24]:31). Menurut ayat ini, seorang muslimah tidak boleh
menampakkan perhiasannya, kecuali perhiasan yang memang tidak mungkin untuk
disembunyikan, seperti selendang, tutup kepala, atau pakaian luar dari seorang
wanita. Namun selain dari itu, ia wajib ditutupi. Ayat ini juga membolehkan
wanita untuk menampakkan perhiasannya kepada mahram mereka. Ini berarti bahwa
apa yang dilakukan oleh sebagian kaum wanita saat ini yang menampakkan
perhiasaannya kepada yang bukan mahramnya merupakan pelanggaran syariat yang
sangat besar yang bisa menyebabkan mereka masuk neraka.
Rasulullah
SAW. Berkata, “dua jenis penghuni neraka yang belum pernah aki lihat
sebelumnya, yaitu sebuah kaum memegang cambuk seperti ekor sapi. Mereka
memukuli manusia dengan cambuk-cambuk tersebut. Wanita yang mengenakan pakaian,
tetapi seperti telanjang, bersolek diri untuk memperdaya laki-laki,
kepala-kepala mereka seperti punuk unta yang sudah miring. Mereka tidak akan
masuk surga dan tidak akan mencium baunnya, sebab sesungguhnya bau surga itu
akan tercium dari jarak perjalanan ini dan itu”. (HR Al-Bukhari dari Abu
Hurairah r.a.)
Kesalah ini
termasuk kesalahan yang besar karena selain ia merupakan pelanggaran terhadap
syariat Allah dan Rasul-Nya, ia akan menjadi penyebab datangnya mudarat, baik
bagi wanita itu sendiri maupun bagi orang lain. Seorang wanita yang tidak
menutup auratnya (tabarruj) ketika keluar dari rumahnya atau ketika berhadapan
dengan seseorang yang bukan mahramnya, maka akan terangkat atau hilang harkat
dan martabatnya. Mengapa demikian ? Aurat adalah sesuatu yang aib (malu) untuk
diperlihatkan sehingga jika aurat seseorang wanita tampak, akan tampak pula
aibnya, dan ia akan merasa malu karenanya.
Sangat
disayangkan, jika kaum wanita saat ini, khususnya Muslimah, sudah tidak lagi
merasa malu untuk membuka auratnya dan menganggap itu sebagai suatu perkara
yang lumrah. Akibatnya, mudah ditebak. Berbagai kasus pelecehan terhadap kaum
wanita, ponografi, pemerkosaan, perilaku-perilaku yang tidak senonoh, biasanya
berasal dari terlihatnya atau tersingkapnya aurat si wanita. Jika wanita
tersebut menutup auratnya dengan baik, apa yang bisa mereka lihat ? jika sudah
tidak ada lagi yang bisa mereka lihat, bagaimana lagi mereka bisa melakukan
tindak pelecehan?
Dari Khalid
ibn Duraik, bahwa ‘A’isyah r.a berkata, “suatu hari, Asma’ binti Abu Bakar
menemui Rasulullah Saw. Dengan mengenakan pakaian tipis. Beliau berpaling
darinya dan berkata, “wahai Asma,’ jika wanita sudah mengalami haid, tidak
boleh ada anggota tubuhnya yang terlihat, kecuali ini dan ini (sambil menunjuk
ke wajah dan telapak tangan)”. (HR Abu Dawud)
Memang, dalam
persoalan aurat wanita, terdapat perselisihan pendapat dikalangan ulama.
Al-Qurthubi, seorang pakar Al-Qur’an dan hukum, menulis ketika menafsirkan
firman Allah dalam Surah Al-Nur (24):31 sebagai berikut: “Allah Swt.
Memerintahkan para wanita untuk tidak menampakkan hiasan mereka kepada
orang-orang yang dapat melihat, kecuali siapa yang dikecualikan oleh lanjutan
ayat. Ini agar tidak timbul fitnah (rangsangan). Kemudian, Allah mengecualikan
dari hiasan ‘ma zhahara minha’ (apa yang biasa tampak dari hiasan). Orang
berbeda pendapat tentang kadar (yang dikecualikan) itu.”
Ibn Mas’ud
(sahabat Nabi) berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “apa yang tampak” adalah
yang tampak dari hiasan, yaitu pakaian. Ibn Zubair menambahkan bahwa disamping
pakaian “juga Wajah”. Adapun Sa’id ibn Zubair,Atha,’ dan Al-Auza’i berpendapat
bahwa (yang boleh ditampakkan adalah) “wajah, kedua telapak tangan, dan
pakaian”. Sahabat Nabi yang lain, Ibn ‘Abbas, begitu juga Al-Miswar ibn
Mukharamah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiasan yang tampak adalah
“celak mata, gelang tangan, juga setengah tangan, giwang, cincin, dan semacamnya”.
Semuanya boleh ditampakkan oleh wanita kepada siapapun yang menemuinya.
Al-Thabari
menyebut sebuah hadist dari Nabi Muhammad Saw. Melalui Qatadah tentang
(kebolehan menampakkan) setengah tangan. Ia juga menyebutkan riwayat lain
melalui ‘Aisyah dari Nabi Muhammad Saw. Yang bersabda, “tidak halal bagi
seorang wanita yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian-apabila telah
haid-menampakkan kecuali wajah dan kedua tangannya sampai di sini (dan beliau
memegang setengah tangan).”
Ibn
‘Athiyyah berkata, “Hemat saya berdasarkan teks ayat wanita diperintahkan untuk
tidak menampakkan dan berusaha menyembunyikan segala apa yang merupakan hiasan
(mereka). Ada pengecualian menyangkut
yang tampak akibat kebutuhan gerak yang harus dilakukan menyangkut kemaslahatan
dan semacamnya”. Selanjutnya Al-Qurthubi berkomentar, “pendapat ini baik, tetapi
karena wajah dan kedua telapak tangan selalu tampak pada umumnya dan dalam
beribadah pun demikian seperti dalam shalat dan haji adalah baik jika
pengecualian itu tertuju pada keduanya”.
Nah seperti
yang anda lihat, para ulama yang disebut namanya tadi adalah mereka yang hidup
ratusan tahun yang lalu, dan mereka tidak sepakat. Alasan yang mereka
kemukakan, ada yang berupa riwayat, tetapi masih diperselisihkan kesahihannya.
Dan, ada juga yang berdasarkan logika, atau kesan yang diperoleh dari teks ayat,
bahkan ada pula yang berdasarkan kebiasaan pada masanya atau pada masa Nabi
Muhammad Saw. Di sini belum lagi pandangan beberapa cendikiawan atau ulama masa
kini, sehingga pada akhirnya setelah ditemukan perbedaan pendapat, agaknya
tidak tidak keliru jika persoalan seperti ini berpulang kepada nurani
masing-masing untuk menganut atau
memilih pendapat-pendapat ulama yang berbeda-beda itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar