Minggu, 03 Januari 2016

Apasih Tabarruj itu ?



Memamerkan Diri (Tabarruj) yang Dilarang
Yang dimaksud dengan memamerkan diri (tabarruj) yang dilarang disini adalah menampakan sesuatu yang sepatutnya ditutupi. Menurut Miqati ibn Hayyam, termasuk kategori memamerkan diri atau tabaruj adalah melepas penutup kepala atau kerudung dari kepalanya sehingga terlihat kalung, anting-anting, dan lehernya. Padahal, Allah SWT. Telah memerintahkan kepada wanita agar menahan pandangan mereka dan tidak menampakkan perhiasan yang mereka pakai, kecuali dihadapan mahram-mahram mereka, katakanlah kepada wanita yang beriman agar mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) tampak darinya. dan hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka,..(QS Al-Nur [24]:31). Menurut ayat ini, seorang muslimah tidak boleh menampakkan perhiasannya, kecuali perhiasan yang memang tidak mungkin untuk disembunyikan, seperti selendang, tutup kepala, atau pakaian luar dari seorang wanita. Namun selain dari itu, ia wajib ditutupi. Ayat ini juga membolehkan wanita untuk menampakkan perhiasannya kepada mahram mereka. Ini berarti bahwa apa yang dilakukan oleh sebagian kaum wanita saat ini yang menampakkan perhiasaannya kepada yang bukan mahramnya merupakan pelanggaran syariat yang sangat besar yang bisa menyebabkan mereka masuk neraka.
 Rasulullah SAW. Berkata, “dua jenis penghuni neraka yang belum pernah aki lihat sebelumnya, yaitu sebuah kaum memegang cambuk seperti ekor sapi. Mereka memukuli manusia dengan cambuk-cambuk tersebut. Wanita yang mengenakan pakaian, tetapi seperti telanjang, bersolek diri untuk memperdaya laki-laki, kepala-kepala mereka seperti punuk unta yang sudah miring. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium baunnya, sebab sesungguhnya bau surga itu akan tercium dari jarak perjalanan ini dan itu”. (HR Al-Bukhari dari Abu Hurairah r.a.)
 Kesalah ini termasuk kesalahan yang besar karena selain ia merupakan pelanggaran terhadap syariat Allah dan Rasul-Nya, ia akan menjadi penyebab datangnya mudarat, baik bagi wanita itu sendiri maupun bagi orang lain. Seorang wanita yang tidak menutup auratnya (tabarruj) ketika keluar dari rumahnya atau ketika berhadapan dengan seseorang yang bukan mahramnya, maka akan terangkat atau hilang harkat dan martabatnya. Mengapa demikian ? Aurat adalah sesuatu yang aib (malu) untuk diperlihatkan sehingga jika aurat seseorang wanita tampak, akan tampak pula aibnya, dan ia akan merasa malu karenanya.
 Sangat disayangkan, jika kaum wanita saat ini, khususnya Muslimah, sudah tidak lagi merasa malu untuk membuka auratnya dan menganggap itu sebagai suatu perkara yang lumrah. Akibatnya, mudah ditebak. Berbagai kasus pelecehan terhadap kaum wanita, ponografi, pemerkosaan, perilaku-perilaku yang tidak senonoh, biasanya berasal dari terlihatnya atau tersingkapnya aurat si wanita. Jika wanita tersebut menutup auratnya dengan baik, apa yang bisa mereka lihat ? jika sudah tidak ada lagi yang bisa mereka lihat, bagaimana lagi mereka bisa melakukan tindak pelecehan?
 Dari Khalid ibn Duraik, bahwa ‘A’isyah r.a berkata, “suatu hari, Asma’ binti Abu Bakar menemui Rasulullah Saw. Dengan mengenakan pakaian tipis. Beliau berpaling darinya dan berkata, “wahai Asma,’ jika wanita sudah mengalami haid, tidak boleh ada anggota tubuhnya yang terlihat, kecuali ini dan ini (sambil menunjuk ke wajah dan telapak tangan)”. (HR Abu Dawud)
 Memang, dalam persoalan aurat wanita, terdapat perselisihan pendapat dikalangan ulama. Al-Qurthubi, seorang pakar Al-Qur’an dan hukum, menulis ketika menafsirkan firman Allah dalam Surah Al-Nur (24):31 sebagai berikut: “Allah Swt. Memerintahkan para wanita untuk tidak menampakkan hiasan mereka kepada orang-orang yang dapat melihat, kecuali siapa yang dikecualikan oleh lanjutan ayat. Ini agar tidak timbul fitnah (rangsangan). Kemudian, Allah mengecualikan dari hiasan ‘ma zhahara minha’ (apa yang biasa tampak dari hiasan). Orang berbeda pendapat tentang kadar (yang dikecualikan) itu.”
 Ibn Mas’ud (sahabat Nabi) berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “apa yang tampak” adalah yang tampak dari hiasan, yaitu pakaian. Ibn Zubair menambahkan bahwa disamping pakaian “juga Wajah”. Adapun Sa’id ibn Zubair,Atha,’ dan Al-Auza’i berpendapat bahwa (yang boleh ditampakkan adalah) “wajah, kedua telapak tangan, dan pakaian”. Sahabat Nabi yang lain, Ibn ‘Abbas, begitu juga Al-Miswar ibn Mukharamah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan hiasan yang tampak adalah “celak mata, gelang tangan, juga setengah tangan, giwang, cincin, dan semacamnya”. Semuanya boleh ditampakkan oleh wanita kepada siapapun yang menemuinya.
 Al-Thabari menyebut sebuah hadist dari Nabi Muhammad Saw. Melalui Qatadah tentang (kebolehan menampakkan) setengah tangan. Ia juga menyebutkan riwayat lain melalui ‘Aisyah dari Nabi Muhammad Saw. Yang bersabda, “tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian-apabila telah haid-menampakkan kecuali wajah dan kedua tangannya sampai di sini (dan beliau memegang setengah tangan).”
  Ibn ‘Athiyyah berkata, “Hemat saya berdasarkan teks ayat wanita diperintahkan untuk tidak menampakkan dan berusaha menyembunyikan segala apa yang merupakan hiasan (mereka). Ada  pengecualian menyangkut yang tampak akibat kebutuhan gerak yang harus dilakukan menyangkut kemaslahatan dan semacamnya”. Selanjutnya Al-Qurthubi berkomentar, “pendapat ini baik, tetapi karena wajah dan kedua telapak tangan selalu tampak pada umumnya dan dalam beribadah pun demikian seperti dalam shalat dan haji adalah baik jika pengecualian itu tertuju pada keduanya”.
 Nah seperti yang anda lihat, para ulama yang disebut namanya tadi adalah mereka yang hidup ratusan tahun yang lalu, dan mereka tidak sepakat. Alasan yang mereka kemukakan, ada yang berupa riwayat, tetapi masih diperselisihkan kesahihannya. Dan, ada juga yang berdasarkan logika, atau kesan yang diperoleh dari teks ayat, bahkan ada pula yang berdasarkan kebiasaan pada masanya atau pada masa Nabi Muhammad Saw. Di sini belum lagi pandangan beberapa cendikiawan atau ulama masa kini, sehingga pada akhirnya setelah ditemukan perbedaan pendapat, agaknya tidak tidak keliru jika persoalan seperti ini berpulang kepada nurani masing-masing  untuk menganut atau memilih pendapat-pendapat ulama yang berbeda-beda itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar