Alasan.
Ada
sebuah keluarga, besar, 8 bersaudara, tiga cowok, lima cewek. Orang tua
mereka buruh tani, bekerja di sawah milik orang. Berangkat pagi2,
seharian dibakar panas matahari, atau kalau hujan, disiram hujan, pulang
sore2, untuk upah yang seadanya sekali. Itupun kalau ada pekerjaan dari
pemilik sawah, jika tidak, maka jadilah serabutan mengerjakan yang
lain. Rumah mereka kecil seadanya, makan juga susah sesedianya. Pakaian
lungsuran dan beli di pasar loak (atau pemberian orang lain), jangan
tanya tas, sepatu dan barang2 lainnya, tidak ada.
Waktu
melesat cepat. 8 bersaudara ini telah besar. Semuanya lulus sarjana
universitas top negeri ini. Empat diantaranya mengambil master, satu
yang paling brilian, sedang menyelesaikan doktor di luar negeri.
Apakah
ini menakjubkan? Tidak. Berserakan contohnya di sekitar kita. Ketika
ketekunan, kerja keras berhasil mengalahkan keterbatasan. 8 bersaudara
ini sejak kecil, memang miskin, tapi mereka dididik dengan baik oleh
orang tuanya. Mereka tidak pintar-pintar amat, tidak terlahir jenius
(kecuali satu yang paling brilian), tapi kecintaan 8 bersaudara ini akan
proses belajar, ketekunan melewati prosesnya, pantang menyerah, membawa
mereka pergi jauh sekali. Nilai2 mereka cemerlang, masuk sekolah2 yang
baik, beasiswa mengalir, pun jika tidak ada beasiswa mereka memutuskan
sekolah sambil bekerja, satu-persatu prestasi digapai, 8 bersaudara
saling bahu-membahu mengejar pendidikan terbaik.
Lantas
refleksikanlah cerita ini ke kondisi kita. Karena pertanyaan paling
mendesak jika kita tidak berhasil menggapai pendidikan baik adalah:
apakah kita memang serius atau tidak sih sekolah? Apakah kita memang
niat atau hanya banyak alasan? Tidak pernah menjadi salah orang, salah
situasi, salah sistem, apalagi salah Tuhan jika kita tidak bisa sekolah
tinggi. Oh well, saya tahu my dear, banyak orang sukses tanpa harus
sekolah tinggi. Bill Gate misalnya, atau pemilik facebook, si Mark
Zuckerberg. Dua orang ini memang gagal sekolah. Tapi mereka, dua-duanya
adalah DO dari Harvard University, salah-satu kampus paling top sedunia.
Oh well, saya juga tahu, Ibu Susi juga tidak sekolah tinggi bisa jadi
menteri, tapi jangan lihat itunya saja, kenapa ketekunan, kerja-kerasnya
tidak yang kita contoh? Putus sekolah, usia 17-18, Ibu Susi berani
menjual perhiasannya, untuk modal usaha.
Masa
depan kita itu adalah tanggungjawab kita. Apa yang akan terjadi 10, 20
tahun dari sekarang adalah cermin dari apa yang kita kerjakan sekarang.
Maka, jika kita hari ini malas, lebih sering buka gagdet, HP dibanding
buka buku pelajaran. Lebih sering berjam-jam, setiap hari menghabiskan
waktu mubazir dibanding tekun belajar, menunda-nunda, malaaas sekali,
jangan pernah menyalahkan siapapun atas masa depan kita kelak.
Sebelum
terlanjur (karena toh contohnya juga banyak di sekitar kalian),
singkirkanlah semua kenikmatan sesaat menghabiskan waktu sia-sia,
mulailah berpikir, merenungkan masa depan kita. Kemudian ikuti dengan
sungguh2 belajar. Apa itu sungguh2 belajar? Tidak dengan cuma membaca
buku 30 menit, kemudian sudah merasa belajar, itu sih alasan lagi. 8
bersaudara tadi, saat remaja, bisa hingga pukul 12 malam masih tekun
membaca buku, masih terus latihan soal. Pemegang nilai UN tertinggi
tahun lalu, bahkan belajar hingga jam 2 malam (belajar! bukan main
gagdet). Kerja keras yang akan mereka nikmati bertahun2 kemudian. Sekali
kesuksesan mereka rengkuh, kehidupan menjadi lebih mudah, mereka bisa
santai kapanpun mereka mau sekarang. Jangan terbalik maunya, masih
remaja ingin santai, saat tua juga ingin santai. Tidak laku rumusnya.
Pikirkanlah. Jika kita gagal dalam pendidikan, gagal dalam masa depan, itu bukan salah orang lain, tapi salah kita sendiri.
*Tere Liye
Tidak ada komentar:
Posting Komentar