Senin, 11 Januari 2016

Blok Masela

*Kalian pilih yang mana
Mungkin kalian tidak tahu, ada proyek mega-raksasa di Indonesia Timur, yang disebut dengan nama Blok Masela. Saya tahu, kalian lebih suka soal cinta-cintaan, tapi ijinkan saya menulis tentang Blok Masela--toh, di Blok ini juga ada tentang “cinta”.
Apa itu Blok Masela? Itu adalah area di perairan Arafura, dengan luas area lebih dari 4 .000 km persegi. Di perairan seluas ini ada gas alam cair yang jumlahnya masya Allah--bahkan nama sumur eksplorasi-nya saja disebut dengan kode “Abadi-1”, “Abadi-2”, “Abadi-3”. Sejak 1998, INPEX, perusahaan dari Jepang mendapatkan kontrak eksplorasi atas blok ini, dan mereka mulai mengebor tahun 2000. Hingga hari ini, di Blok Masela sudah ada kilang terapung (itu gas disedot, kemudian ditampung, lantas dikirim ke seluruh dunia), dengan kapasitas 2,5 milyar ton per tahun. Crazy banyaknya. Tapi hei, ternyata belum cukup, menurut data eksplorasi terbaru, jumlah gas di Blok ini lebih dahsyat, maka Inpex mengusulkan membangun lagi kilang dengan kapasitas 7,5 milyar ton per tahun. Itu akan jadi kilang terbesar di universe, eh dunia.
Nah, baru kita menemukan pertanyaan menarik.
Karena ada yang menolak kilang itu dibangun di atas laut. Kenapa ditolak? Simpel, kalau itu kilang di atas laut, maka kapal2 merapat ke kilang, kemudian pergi. Selesai, gas dibawa kemana2. Beda jika dibangun di daratan, kapal2 akan merapat ke daratan, efek ekonomi-nya jauh lebih besar. Lantas kenapa tidak dibangun di darat? Kan jelas lebih menarik? Karena butuh pipa sepanjang 600 km lebih menarik gas itu ke daratan. Menurut data SKK Migas (saya pakai data mereka saja), jika kilang dibangun di lautan, biayanya hanya 14,8 milyar dollar (207 trilyun), tapi jika di daratan menjadi 19,3 milyar dollar (270 trilyun rupiah). Ada selisih 63 trilyun lebih.
Mana yang lebih feasibel? Tergantung, situ lihat dari sisi mana. Jika dari aspek biaya, proses pembangunan, tentu floating di laut sana lebih murah. Narik pipa 600 km melewati lautan dalam ratusan meter bukan pekerjaan gampang. Belum lagi kalau tiba2 gempa, tsunami, itu pipa bagaimana? Tapi kita tidak bicara tentang aspek biaya saja. Bayangkan, jika pipa itu mendarat di salah-satu pinggiran Maluku, boom! Kita bisa punya satu kota “Balikpapan” baru. Lebay? Tidak. Kilang raksasa itu jelas akan membawa dampak ekonomi dahsyat. Memindahkan kampus (misalnya kampus UI) saja efeknya gila, bayangkan, Depok itu dulu sunyi senyap, saat UI pindah ke sana, simsalabim, Depok menjadi salah-satu kota paling padat di Indonesia. Inilah sumber keributan antar Menteri. Mereka berantem di media massa, saling serang, saling lawan data2. Apa keputusan terbaiknya? Lagi2 sangat tergantung kemana visi negara ini akan dibawa.
Lantas kenapa saya bilang ada “cinta” di Blok Masela? Well, karena kita bicara tentang sumber daya milik anak cucu kita. Duh, keliru sekali jika kita merasa trilyunan gas cair di Blok Masela itu milik kita. Itu adalah milik anak cucu kita kelak. Tulisan ini bisa kemana2 deh kalau bicara tentang penentuan harga gas, berapa bagian rakyat Indonesia? Kenapa Maluku tidak maju2, padahal di sana ada gas semassif itu? Jadi daripada kemana2, saya hendak bilang, sungguh ada cinta di Blok Masela, bukan tentang keserakahan, hitungan matematis dan semua perdebatan tiada habis2nya berbulan2 terakhir. Tuhan sayang sekali dengan Indonesia Timur itu, diberikanlah sumber daya alam tiada terkira.
Saya berharap, keputusan atas Blok Masela ini benar2 diambil setelah kajian mendalam dan mempertimbangkan banyak aspek, tidak apa sedikit lambat, yang penting hati2. Semoga Pak Presiden selalu keras kepala, koppig, dalam urusan konsesi. Tidak mau dirayu2 oleh para pengusaha, tidak mempan dilobi oleh pemimpin negara2 luar, apalagi mendengarkan bisik tipu2 dari lingkaran kekuasaan terdekat. Mau dibangun di laut sana, dibangun di darat, apapun keputusannya, Pak Presiden, pastikan cinta yang besar diterima oleh rakyat Indonesia Timur. Tidak sudi kami melihat seliweran kapal datang-pergi membawa trilyunan ton gas milik bangsa ini, mereka kaya raya, beli pesawat jet, hura-hura, hore-hore, rakyatnya tetap pakai menderita.
*Tere Liye
2 Januari pukul 19:39 · Publik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar