Mundur = Melepaskan....
Apa susahnya mundur? Apa sih susahnya melepaskan?
Ini
pertanyaan serus. Dan lebih serius lagi, kita harus mendidik generasi
baru kita untuk memahami, bahwa mundur itu mudah. Melepaskan sesuatu itu
tidak berat. Tidak jaman lagi masih mengotot minta ampun, memaksakan
diri, menangis, melawan, hingga bukan hanya merugikan diri sendiri, pun
juga merugikan orang lain.
Eh? Saya tidak
sedang bicara tentang perasaan. Wah, kalian keliru jika menyangka
tulisan ini tentang cinta. Tentang melepaskan seseorang. Saya sedang
bicara tentang budaya atau tradisi mundur bagi pejabat di negeri ini.
Kenapa sih pejabat di negeri ini susah sekali mundur?
Silahkan
daftar, 20 tahun terakhir, sedikit saja nama-nama pejabat yang mau
mundur jika dia merasa tidak mampu mengejar target, yang banyak, dia
tetap keuekuh memegang posisinya, menyalahkan orang lain, menyalahkan
situasi eksternal, atas kegagalannya, pokoknya bukan salah dia. Dan
kalaupun ada kasus yang akhirnya mundur, itu lebih karena terpaksa,
putus-asa, tidak ihklas. Lihatlah, setelah mundur, dia masih juga banyak
bicara, menyalahkan ini-itu, terlihat sekali tidak gentleman, bukan?
Padahal, apa susahnya mundur? Melepaskan?
Di
luar negeri, budaya mundur itu sudah umum. Jepang misalnya, saat ada
peristiwa penting--yang kalaupun dia tidak berhubungan langsung, tapi
karena punya rasa malu, dia memutuskan mundur. Apalagi jika memang
berhubungan langsung, ketidakmampuan mengendalikan anak buah, kesalahan
perhitungan, tidak tercapainya target, mengecewakan orang lain, maka
lebih legowo lagi dia mundur. Di negeri kita, bahkan meski seluruh orang
sudah mencaci-maki, dia tetap cengar-cengir merasa paling keren
sedunia, untuk kemudian membalik logika: “Itu rakyat yang mana?”
Jika
kita ingin menjadi negara modern, pastikanlah generasi berikutnya punya
tradisi mundur, melepaskan. Tidak ada yang bilang amanah itu mudah
dilaksanakan, itu pasti berat, nah, saat kita telah habis-habisan
melakukan yang terbaik dan tetap gagal, silahkan dikerjakan oleh tenaga
baru. Boleh jadi yang baru ini bisa menemukan cara lebih baik, trik
lebih jitu. Jika seseorang memahami pekerjaan adalah ibadah, dia akan
mudah sekali melepaskan posisinya. Buat apa digenggam habis2an? Menyuruh
orang lain untuk membela kita? Karena toh, jika kita memang ingin
bermanfaat, ada banyak cara, kesempatan dan posisi lainnya. Kecuali jika
kita menjadikan amanah itu sebagai nafkah, sumber rezeki, obyekan, wah,
memang super berat untuk dilepaskan. Apalagi jika ada ancaman: sekali
situ tidak berkuasa, hadapilah penegak hukum--lebih susah lagi mundur.
Semoga
generasi baru punya tradisi mundur yang baik. Kekuasaan itu persis
seperti pasir. Genggam erat-erat, maka kita justeru akan kehilangan
pasirnya. Toh, bahkan Fir’aun saja, yang bukan main kekuasaannya, dia
tetap harus “mundur”, apalagi kita? Semua kekuasaan mahkluk pasti kalah
di atas dunia ini. Dihabisi oleh waktu.
*Tere Liye
Tidak ada komentar:
Posting Komentar