Selasa, 12 Januari 2016

Tak usahlah memaksakan lebih baik mundur dan melepaskan

Mundur = Melepaskan....

Apa susahnya mundur? Apa sih susahnya melepaskan?
Ini pertanyaan serus. Dan lebih serius lagi, kita harus mendidik generasi baru kita untuk memahami, bahwa mundur itu mudah. Melepaskan sesuatu itu tidak berat. Tidak jaman lagi masih mengotot minta ampun, memaksakan diri, menangis, melawan, hingga bukan hanya merugikan diri sendiri, pun juga merugikan orang lain.
Eh? Saya tidak sedang bicara tentang perasaan. Wah, kalian keliru jika menyangka tulisan ini tentang cinta. Tentang melepaskan seseorang. Saya sedang bicara tentang budaya atau tradisi mundur bagi pejabat di negeri ini. Kenapa sih pejabat di negeri ini susah sekali mundur?
Silahkan daftar, 20 tahun terakhir, sedikit saja nama-nama pejabat yang mau mundur jika dia merasa tidak mampu mengejar target, yang banyak, dia tetap keuekuh memegang posisinya, menyalahkan orang lain, menyalahkan situasi eksternal, atas kegagalannya, pokoknya bukan salah dia. Dan kalaupun ada kasus yang akhirnya mundur, itu lebih karena terpaksa, putus-asa, tidak ihklas. Lihatlah, setelah mundur, dia masih juga banyak bicara, menyalahkan ini-itu, terlihat sekali tidak gentleman, bukan?
Padahal, apa susahnya mundur? Melepaskan?
Di luar negeri, budaya mundur itu sudah umum. Jepang misalnya, saat ada peristiwa penting--yang kalaupun dia tidak berhubungan langsung, tapi karena punya rasa malu, dia memutuskan mundur. Apalagi jika memang berhubungan langsung, ketidakmampuan mengendalikan anak buah, kesalahan perhitungan, tidak tercapainya target, mengecewakan orang lain, maka lebih legowo lagi dia mundur. Di negeri kita, bahkan meski seluruh orang sudah mencaci-maki, dia tetap cengar-cengir merasa paling keren sedunia, untuk kemudian membalik logika: “Itu rakyat yang mana?”
Jika kita ingin menjadi negara modern, pastikanlah generasi berikutnya punya tradisi mundur, melepaskan. Tidak ada yang bilang amanah itu mudah dilaksanakan, itu pasti berat, nah, saat kita telah habis-habisan melakukan yang terbaik dan tetap gagal, silahkan dikerjakan oleh tenaga baru. Boleh jadi yang baru ini bisa menemukan cara lebih baik, trik lebih jitu. Jika seseorang memahami pekerjaan adalah ibadah, dia akan mudah sekali melepaskan posisinya. Buat apa digenggam habis2an? Menyuruh orang lain untuk membela kita? Karena toh, jika kita memang ingin bermanfaat, ada banyak cara, kesempatan dan posisi lainnya. Kecuali jika kita menjadikan amanah itu sebagai nafkah, sumber rezeki, obyekan, wah, memang super berat untuk dilepaskan. Apalagi jika ada ancaman: sekali situ tidak berkuasa, hadapilah penegak hukum--lebih susah lagi mundur.
Semoga generasi baru punya tradisi mundur yang baik. Kekuasaan itu persis seperti pasir. Genggam erat-erat, maka kita justeru akan kehilangan pasirnya. Toh, bahkan Fir’aun saja, yang bukan main kekuasaannya, dia tetap harus “mundur”, apalagi kita? Semua kekuasaan mahkluk pasti kalah di atas dunia ini. Dihabisi oleh waktu.
*Tere Liye


Tidak ada komentar:

Posting Komentar