REMPONG DAN TIDAK BISA MEMBACA
Kenapa sih orang2 sering bertengkar di media sosial?
Karena
kita tidak pandai membaca. Kita memang bisa membaca, tapi kita tidak
terlatih memahami, melakukan refleksi, mengalami proses membaca dengan
baik. Kenapa jadi begini? Karena kita hanya terbiasa membaca media
sosial, yang pendek, ringkas, untuk kemudian langsung berkomentar.
Berbeda sekali saat kita terlatih membaca buku2 tebal, dengan beragam
topik bahasan, beragam penulis, dan sudut pandang, insya Allah, kita
akan terlatih berpikir, karena tidak ada tempat menulis komen di halaman
buku, kita juga bisa berhenti sejenak, menyerap, lantas memahami banyak
hal.
Berikut akan saya tuliskan beberapa (mungkin) kesalahan fatal para pembaca modern:
1. "Semua" vs "Hampir" vs "Nyaris"
Saat
ada kalimat, "Nyaris dari seluruh wanita menyukai perhiasan." Maka,
orang2 yang tidak terlatih, langsung ngamuk, "Kata siapa? Saya buktinya
tidak suka perhiasan. Anda sok tahu sekali menyimpulkan." Ya memang, kan
ditulisnya "Nyaris", jadi memang ada yang belum tentu suka. Kecuali
ditulis, "Semua wanita menyukai perhiasaan." Baru bolehlah situ merasa
tersinggung. Dia mengamuk gara2 tidak pandai membaca.
Nyaris semua
kesalapahaman pembaca di media sosial berasal dari hal-hal seperti ini.
Tidak terlatih, tidak bisa membedakan istilah "semua", "hampir",
"nyaris", "mayoritas", "sedikit sekali", dll. Juga tidak terlatih
membedakan definisi sebuah kosa kata. Penggunaan kata.
2. Detail tulisan.
Ada
sebuah pengumuman acara misalnya, jelas sekali di sana ditulis, hari
dan tanggalnya, tapi lazimnya ada saja yang tiba-tiba menulis komentar,
ini acaranya kapan? Ini tempatnya di mana? Dsbgnya, dsbgnya. Sungguh
menarik memperhatikan pengguna media sosial, entah apakah mereka memang
luput memperhatikan detail, atau boleh jadi memang tidak mau membacanya
dengan baik.
Maka, apalagi saat sebuah tulisan membahas hal yang lebih serius. Lebih banyak lagi yang mengabaikan detail sebuah tulisan.
Membaca
itu adalah proses utuh, bukan seperti mendengarkan. Kita bisa saja
ngobrol dengan orang lain sambil main HP, tapi membaca, adalah proses
yang harus dibaca dengan lengkap. Repot sekali jika kita sudah
membacanya sepotong saja, tidak detail, untuk kemudian mengamuk.
3. Gaya bahasa.
Saya
gunakan sebuah contoh sbb: "Daun yang jatuh tak pernah membenci angin,
dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan, mengikhlaskan
semuanya.", maka orang yang tidak pandai membaca, akan sibuk membahas
tentang daunnya. Orang2 ini berlagak pintar sekali, komentar kemana2,
nyolot pula. Kenapa? Entahlah, saya tidak tahu persis. Apakah karena
ingin terlihat kerena dan pintar, mencari2 perhatian. Karena pembaca
yang terlatih, tentu saja dia paham itu gaya bahasa. Kalaupun dia tidak
sependapat, dia akan memilih merenungkannya. Gaya bahasa adalah majas,
metafor, dll, dll. Dia memerlukan pemahaman yang baik, dan tidak selalu
artinya seperti yang kita bayangkan.
4. Merasa tulisan ditujukan untuknya.
Ini
juga kesalahan fatal para pembaca modern. Selalu merasa saat menemukan
sebuah tulisan, langsung berpikir, ini menyindir saya, ini ditujukan
untuk saya, dan sebagainya. Ada postingan, "Bisulan di pantat itu sakit
sekali." Ini hanya misal, dan sedikit lebay, tapi atas postingan sejenis
ini di media sosial, tidak sedikit kejadian tiba-tiba ada yang mengamuk
di kolom komentar, "Lu nyindir gue yang lagi bisulan? Dasar nenek
sihir." Eh, siapa pula yang tahu situ sedang bisulan di pantat? Boleh
jadi yang menulis postingan sedang lurus ingin bilang, bisulan di pantat
memang sakit. Bagaimana mungkin tulisan itu dibuat untuk kita? Inilah
runyamnya, kita tidak memahami substansi tulisan tersebut, kita lebih
memilih: ini ditujukan untuk saya.
5. Merasa tulisan selalu soal setuju atau tidak setuju.
Kata
siapa tulisan itu harus soal setuju atau tidak setuju? Nyaris semua
tulisan di media sosial ini adalah tulisan, tidak lebih tidak kurang.
Itu bukan UU, yang semua orang wajib patuh. Entah kenapa, setiap membaca
sesuatu, kita hampir selalu langsung harus menyikapinya dengan setuju
atau tidak setuju. Untunglah jika setuju, masalah bisa selesai,
bagaimana kalau tidak? Kita mulai bertengkar, berantem di kolom
komentar. Padahal tidak ada pula yang sedang memaksakan sesuatu. Dalam
level lebih serius, tulisan dianggap kebenaran mutlak, suci, aduh, ini
repot sekali. Ketahuilah, kita selalu punya kesempatan untuk punya
pendapat sendiri, tanpa perlu setuju atau tidak setuju atas sebuah
tulisan.
Masih banyak lagi daftarnya, kalian bisa melakukan refleksi sendiri.
Saya
selalu menyarankan, bacalah buku, sebanyak mungkin. Itulah yang disebut
dengan sebenar2nya membaca. Bukan cuma membaca status facebook,
twitter, itu bukan membaca dek. Media sosial itu bisa dibilang lebih
kepada "percakapan lisan" (yang mengambil bentuk tulisan). Dengan banyak
membaca buku, kita akan mulai terlatih melakukan perenungan. Menyerap,
memahami, kemudian menjadikannya tulisan berikutnya. Karena, saat kalian
membaca buku setebal 500 halaman, sungguh kalian tidak akan pernah bisa
menulis komentar di sana, bukan? Hanya bisa terus dibaca dan dipahami.
Di media sosial, kadang terbalik situasinya, ada postingan cuma 1
kalimat, yang komentar mengamuk bisa menulis panjang lebar 50 kalimat.
Bukankah itu persis saat bertengkar secara lisan di komplek perumahan,
satu orang hanya mengucapkan 1 kalimat, emak-emak rempong (maafkan saya
contohnya emak-emak, lagi2 ini hanya gaya bahasa) malah membalasnya
dengan kalimat tiada henti selama 10 menit, hingga muncrat ludahnya
kemana2. Kita mau jadi emak-emak rempong?
Tere Liye